Hal-hal yang tidak menggugurkan Penawaran (tidak prinsip boss!!!)

July 30, 2010 by  

Artikel ini ada pada kategori Pengadaan - Pengadaan Barang Jasa

Beberapa hari ini saya “kebanjiran” pertanyaan baik melalui telepon atau bertanya langsung dan juga dari beberapa surat sanggah yang masuk, mungkin karena musim lelang sudah tiba kali yah :).  Yang mana inti pertanyaannya adalah bertanya tentang beberapa hal yang ujungnya adalah; “apakah hal tersebut bisa menggugurkan atau tidak dari suatu penawaran?“.

Namun yang menjadi inspirasi dari tulisan ini adalah ternyata banyak yang dipermasalahkan itu adalah sebenarnya adalah hal-hal yang semestinya tidak menjadi hal yang prinsip dan seharusnya tidak dipermasalahkan baik oleh panitia pengadaan sehingga harus digugurkan dan/atau oleh penyedia/peserta pengadaan sehingga menjadi bahan dalam sanggahan mereka. Meskipun yang dijadikan masalah itu tercantum kata HARUS” di dalam dokumen pengadaannya namun kita tetap harus melihat esensi dari keharusan persyaratan tersebut. Karena ini kan bukan seperti soal logika dari test TPA Bappenas yang kadangkala statement tidak masuk di “akal praktikal” namun kalau secara logika (matematika) bisa masuk dan benar, maka hal itu bisa dibenarkan (maklumlah baru ikut test TPA OTO bappenas, test ini sengaja saya singgung sedikit karena saya merasa ada sesuatu yang kurang maksimal dari test ini, nantilah kalau bukti-bukti dan analisa nya sudah terkumpul akan saya buat sebuah posting khusus tentang test TPA ini, tapi ini semata-mata bukan karena hasil test nya kurang maksimal sih… )

Okelah kembali ke laptop, maksud saya meskipun keharusan tentang persyaratan tersebut muncul secara eksplisit dalam dokumen, namun kita tidak bisa mengartikan secara saklek dari kata “harus” tersebut, misalkan yang sering muncul adalah masalah penyampulan, masa sih karena ada kata-kata sampul harus di “lak” di lima titik, maka kalau kurang (hanya satu atau dua titik) atau tidak di lak maka penawaran harus digugurkan? meskipun dalam dokumen dinyatakan bahwa sampul “harus di lak“. Tetapi ada tulisan selanjutnya bahwa Panitia tidak bertanggungjawab atas kerahasiaan dokumen penawaran apabila sampul tidak di lak, maka kalau tidak di lak pun penawaran tidak “harus” digugurkan”. Intinya kita harus bisa melihat dan mengerti, mana yang keharusan tersebut merupakan yang penting dan ada payungnya dalam keppres dan mana yang keharusan tersebut bukan hal yang menggugurkan penawaran dan hanya sekedar untuk tertib/kerapihan administrasi saja.

Contoh lain, seperti kesalahan dalam alamat ditujukan pada halaman luar sampul, dalam dokumen biasanya ada tuh kata-kata yang mengharuskan, bahwa alamat di luar sampul di tulis ditujukan kepada Panitia Pengadaan (tapi ada juga yang meminta ditujukannya kepada PPK).  Nah padahal kan dokumen di bawa sendiri oleh pesertanya dan dimasukan ke dalam kotak pemasukan dokumen, tentunya tidak menjadi hal yang prinsip kalau hanya sampul luarnya saja yang ditulis salah alamat, misalnya harusnya ke panitia tapi ditulis ke PPK atau sebaliknya.

Tapi kan dalam dokumen itu harus ditujukan ke itu pak…. ya itu maksud saya, jangan selalu kata “harus” itu selalu diartikan tidak boleh salah sedikitpun, kita harus menganalisa juga, ini prinsip dan payung hukumnya ada atau tidak…. tapikan dokumen dan berita acara aanwijzing itu kalau sudah ditandatangani dan disepakati itu menjadi Undang-Undang bagi semua pihak… ya tidak se saklek itulah… kita lihat di keppresnya bahwa yang wajib benar2 BENAR adalah di surat penawarannya, kalau masalah surat penawaran, nah ini memang ada di keppres-nya. Kalau ada kata-kata “harus” di dokumen, itu bisa saja hanya untuk sekedar tertib administrasi. So… lihat dulu… kalau belagu… muke lu jauh… 🙂 lebay deh…

Dari hasil sharing tersebut dapat dikumpulkan beberapa hal yang harus menjadi perhatian namun tidak harus menjadi masalah atau tidak menggugurkan dalam penilaian surat penawaran atau dijadikan bahan sanggahan oleh peserta karena merasa seharusnya pesaingnya itu harus digugurkan antara lain:

Kita mulai dari luar sampul penawaran dulu yah…

1. Alamat di sampul, seperti yang sudah dibahas di atas tadi, keharusan (di dokumen pengadaan) penulisan alamat serta di tambah nama paket dan jam pemasukan dan sebagainya, itu sebenarnya merupakan tertib administrasi saja, kalau ada kesalahan dalam penulisannya saya kira tidak perlu digugurkan, kecuali kalau memang salah kamar, dalam artian kalau nanti isinya surat penawarannya ternyata untuk paket lain 🙂 atau kalau dikirim via pos, tentunya tidak akan nyampe ke kotak pemasukan karena salah alamat, iya kan?

Begitu pula keharusan menuliskan tulisan-tulisan lain di luar sampul, menurut saya ini hanya sekedar kerapihan administrasi, meskipun dalam dokumen diharuskan tapi janganlah menggugurkan penawaran gara-gara salah tulisan di sampul.

2. Lak 5 titik, “Sampul penawaran harus di lak di 5 titik seperti pada gambar” statement ini biasanya muncul dalam dokumen pengadaan, sehingga pada saat pembukaan penawaran kadang-kadang ada memprotes bahwa penawaran dari saingan tidak di lak, sehingga harus digugurkan. Padahalkan seperti di atas sudah dijelaskan, itu tidak prinsip, masa sih harus menggugurkan gara-gara LAK?!

3. Penyampulan, Intinya kalau sistemnya 1 sampul maka yang dimasukan ke kotak penawaran hanya 1 sampul saja, kalau di dalamnya dipisah antara rekaman dengan aslinya sehingga di dalam sampul ada 2 sampul lagi, itu tidak menjadikan kesalahan metode menjadi 2 sampul. Kemudian bila digunakan sistem 2 sampul, maka pada intinya adalah terdapat 2 (dua) sampul berbeda yaitu sampul I administrasi teknis dan sampul II harga, yang bilamana dua sampul itu disatukan dan dimasukan ke dalam satu sampul luar, itu tidak menjadikan pelanggaran sistem penyampulan menjadi 1 sampul. Jangan jadi dibolak balik lah, bikin pusing pada saat pembukaan penawaran saja nih 🙂 Dan jangan lupa kalau di pengadaan jasa konsultan, yang aslinya dipisah dalam sampul tersendiri dan jangan dibuka pada saat pembukaan tetapi disimpan di PPK, nah pusingkan sampul menyampulnya 🙂 lihat tulisan: http://heldi.net/2008/05/pembukaan-dokumen-penawaran-konsultan-2-sampul/

4. Penjilidan dan Susunan Isi Dokumen Penawaran; Dalam dokumen pengadaan ada juga yang mensyaratkan tata cara penjilidan dokumen, yaitu bisa dengan lakban hitam, ring, klip dsb. Tapi kalau saya jadi panitia sih suka diberi penjelasan tambahan, jilid dokumen penawaran, mau di klip, mau di jilid, mau ring, dsb silahkan… Begitu pula dalam urutan isi dokumen, diharus sesuai urutan sebagai berikut… tapi itu maksudnya agar “rapih” administrasi sehingga memudahkan dalam pemeriksanaan/evaluasi sehingga tidak susah mencari satu dan dokumen yang lainnya untuk dinilai. Tapi yah…. kalau dokumen penawaran urutannya sudah acak-acakan, ya sudah wayahna… dan tentunya dokumen yang tidak rapi biasanya sedikit banyak akan mendapat dampak psikologis yang buruk kepada panitia… dokumennya saja sudah tidak rapih, apalagi penawaran dan kualitas kerjanya….

5. Dokumen Rekaman; dalam beberapa dokumen pengadaan beberapa kali saya menemukan beberapa persyaratan yang bisa membuat ribet. Antara lain:

Cap dan tandatangan basah, ini membuat ribet nih… kalau saya jadi panitia sih selalu mengkoreksi persyaratan ini dengan membuat bentuk rekaman yang asal di fotocopy dari aslinya saja. Gimana kalau mereka menyampaikan aslinya semua? ya nga apa apa atuh 🙂 kalau aslinya tidak ada barulah bermasalah. Bagaimana kalau rekamannya berbeda dengan aslinya? ya gunakan yang aslinya.

– Kemudian karena cukup di fotocopy maka dalam dokumen pengadaan muncul keharusan untuk mencantumkan tulisan “Copy ini dibuat sesuai dengan Aslinya” yang ditandatangan oleh pihak yang menandatangani surat penawaran. Statement ini bahkan ada yang menterjemahkan sampai bahwa peserta diharuskan membuat surat pernyataan di atas materai bahwa copy atau rekaman yang diberikan sesuai dengan aslinya. Kalau tidak ada tulisan ini maka gugur katanya…Padahalkan kalau dilihat history nya di atas, sudah jelas-jelas bahwa sebenarnya kita ingin menyederhanakan proses pengadaan sehingga tidak terlalu ribet, sehingga kalau ada perbedaan maka tingga dilihat saja aslinya dan hal ini selalu ada dalam dokumen pengadaan bahwa ; “Jika terdapat ketidaksuaian antara dokumen asli dan copy maka digukanan dokumen asli yang berlaku” begitu lanjutan dari persyaratan harus tadi. Sehingga kalaupun tidak menuliskan kata-kata di depan jilid dokumen penawaran “kopi ini dibuat sesuai dengan takarannya yaitu 2,5 sendok kopi dan 2 sendok gula” (misdok deh hehehe lebay deh…) ya kalau menurut saya sih hal ini tidak menggugurkan, Copy nya tetap bisa digunakan sebagai alat bantu proses evaluasi dan ke absahannya ada di surat penawaran aslinya. Surat penawaran tetap sah dan kalau ada perbedaan tetap menyacu kepada aslinya, tanpa ada tulisan itupun panitia tetap harus ngopi kalau melakukan evaluasi… bener nga pak Kamal? kapan nih amplop honor panitia dibagikan? kita belum ngopi nih 🙂

6. Surat Penawaran

Beberapa hal yang sering dipermasalahkan dalam surat Penawaran antara lain:

– Kop Surat; ini tidak prinsip

– Tanggal pada materai, banyak diperdebatkan, sebaiknya diperjelas di dokumen, kalau menurut saya sih ini tidak prinsip juga, karena toh dia sudah membeli dan membayar bea materai kepada negara, kalau masalah tanggal itu bisa diberi tanggal menyusul, post bidding donk?! ya kan tidak prinsip, pemberian tanggal ini hanya bermaksud agar materainya tidak bisa dipakai lagi. Namun banyak juga yang berpendapat lain berdasarkan UU bea materai. Makanya diperjelas saja deh di dokumen pengadaannya.

Sebenarnya masih banyak hal-hal lainnya yang seharusnya saya sampaikan disini, namun karena peraturan presiden nomor 54 tahun 2010 keburu keluar, maka inspirasi tentang hal ini jadi keburu lupa karena keburu disibukkan oleh mempelajari peraturan yang baru ini, mungkin ada tambahan dari para pembaca, silahkan saya tunggu masukannya di komentar…

Ini adalah blog versi lama heldi.net , untuk upate bira pengadaan treabaru Silakan kunjungi blog terbaru di www.heldi.net
Share
Blog ini adalah versi lama dari heldi.net, silahkan kunjungi Blog baru di www.heldi.net