Sistem Pengadaan Publik Dan Cakupannya

February 11, 2012 by  

Artikel ini ada pada kategori Pengadaan - Berita dan Artikel Pengadaan

Sistem Pengadaan Publik Dan Cakupannya
Sumber: Jurnal LKPP edisi 1 Desember 2011

Senator Nur Bahagia
Pusat Pengkajian Logistik dan Rantai Pasok ITB
senator@mail.ti.itb.ac.id

Pengadaan Barang/Jasa Publik (Public procurement) menjadi semakin penting bukan hanya di negara berkembang seperti Indonesia tapi juga diberbagai negara maju seperti di Amerika dan negara yang tergabung dalam Komunitas Eropa. Sampai saat ini belum ada rumusan maupun panduan dan pedoman baku terkait dengan bagaimana penyelenggaraan public procurement yang dapat digunakan oleh setiap negara, mengingat kondisi disetiap negara berbeda-beda, bahkan pemahaman terhadap batasan dan ruang lingkup public procurement juga masih belum ada keseragaman, yang ada dan telah disepakati adalah prinsip dasar dan etika pengadaan. Menyadari pentingnya pemahaman akan public procurement, makalah ini mencoba untuk memberikan gambaran yang lebih komprehensif terkait dengan pemahaman, pengertian, dan serta ruang lingkup public procurement, aktivitas pokok, para pihak terkait, ukuran kinerja, dan prinsip dasar dan etika public procurement
(Kata kunci: public procurement, siklus pengadaan, prinsip dan etika, kinerja pengadaan)

1. Pendahuluan

Dalam kegiatan publik khususnya pemerintahan maupun privat (usaha swasta) selalu diperlukan barang/jasa baik untuk keperluan operasional yang bersifat rutin seperti bahan baku, bahan penolong (supplies), suku cadang, barang jadi, dan barang modal (kapital) seperti bangunan, mesin dan peralatan lainnya.
Kebutuhan barang/jasa tidak dapat dihindarkan untuk menjaga kelancaran operasional dan untuk menjamin pertumbuhan, dimana untuk mendapatkannya tidak dapat diperoleh secara instan, tetapi diperlukan tenggang waktu. Tenggang waktu tersebut dimulai dari saat melakukan pemesanan, waktu untuk memproduksinya, waktu untuk mengantarkan barang, bahkan sampai dengan waktu untuk memproses barang di gudang hingga siap digunakan oleh pemakainya.

Diberbagai negara maju seperti di Amerika dan negara yang tergabung dalam Komunitas Eropa, tidak kurang dari 20% GDP dialokasikan untuk pengadaan barang/jasa, sedangkan di Indonesia tiap tahunnya tidak kurang dari 30% APBN dialokasikan untuk pengadaan barang/jasa.
Oleh sebab itu, sistem pengadaan publik yang transparan, non diskriminasi, berkeadilan, efektif dan efisien sangat penting dalam penyelenggaraan pemerintahan yang baik. Salah satu isu dan permasalahan pokok dalam penyelenggaraan pengadaan publik yang diakui oleh berbagai kalangan baik dari masyarakat bahkan dari pemerintah adalah praktek diskriminatif, kecurangan, dan korupsi yang terjadi tidak hanya di negara berkembang seperti di dalam pengadaan pemerintah di Indonesia, tetapi juga diberbagai negara maju.

Menurur Christopher & Gross (2006), sebenarnya isu dan permasalahan ini telah mendapat perhatian masyarakat internasional sejak tahun 60an, dan berbagai upaya telah dilakukan untuk mencari solusinya. Kesepakatan pertama lahir tahun 1979 pada Putaran Tokyo (Tokyo Round) dengan dikeluarkannya Government Procurement Agreement (GPA) sebagai suatu kesepakatan yang bersifat plurilateral yang mulai diberlakukan pada 1 Januari 1981.

Pelaksanaan GPA bersifat sukarela dan terbatas pada pengadaan dengan nilai kontrak minimal sebesar 150,000 SDR (special drawing rights). Selanjutnya GPA ini diperbaharui pada tahun 1994 sebagai bagian dari Putaran Uruguay tahun 1993 yang ditandatangani di Marrakesh pada bulan April 1994, dan mulai diberlakukan sejak bulan Januari 1996.
Perlunya penyelenggaraan Public Procurement yang baik juga mendapat dukungan dari berbagai lembaga internasional diantaranya PBB melalui United Nations Commission on International Trade Law (UNCITRAL) yang menerbitkan UNICITRAL Model Procurement Law, World Trade Organization [WTO], World Bank dan Asian Development Bank sebagai negara donor yang mewajibkan negara anggota yang diberi pinjaman dalam melaksanakan pengadaan untuk melaksanakan prinsip dasar, etika, dan tata cara pengadaan yang dituangkan dalam Procurement Guide Line. Begitu juga pemerintah Indonesia memberikan prioritas yang tinggi bagi berbagai reformasi penyelenggaraan pengadaan publik secara menyeluruh, penguatan kelembagaan dan pemberantasan korupsi.
Sekalipun telah terjadi perbaikan dalam berbagai peraturan pengadaan selama beberapa tahun terakhir, namun dirasakan masih perlu terus diupayakan perbaikan. Uraian berikut mencoba untuk memberikan gambaran yang memadai terkait dengan sistem pengadaan barang/jasa publik, baik yang terkait dengan pemahaman dan ruang lingkup, prinsip dasar, dan etika pengadaan maupun siklus pengadaannya.

2. Pengertian Pengadaan Barang/ Jasa Publik

Berbagai rumusan tentang definisi pengadaan telah banyak dikemukakan oleh para pakar, diantaranya Arrowsmith (2004), Nur Bahagia (2006), Christopher & Schooner (2007,) dan sebagainya, pada prinsipnya, pengadaan adalah kegiatan untuk medapatkan barang, atau jasa secara transparan, efektif, dan efisien sesuai dengan kebutuhan dan keinginan penggunanya. Yang dimaksud barang disini meliputi peralatan dan juga bangunan baik untuk kepentingan publik maupun privat.

Barang/jasa publik adalah barang yang pengunaannya terkait dengan kepentingan masyarakat banyak baik secara berkelompok maupun secara umum, sedangkan barang/jasa privat merupakan barang yang hanya digunakan secara individual atau kelompok tertentu. Berdasarkan atas penggolongan ini maka suatu barang atau jasa dapat saja dikategorikan atas barang publik tapi dapat juga dikategorikan atas barang privat tergantung pada penggunaannya. Sebagai contoh, mobil bila digunakan untuk usaha angkutan penumpang umum maka dikategorikan sebagai barang publik, tapi bila digunakan untuk kepentingan pribadi maka dikategorikan sebagai barang privat. Terdapat beragam pemahaman terkait dengan public procurement, tergantung pada cara pandangnya. Mengacu pada pengertian umum tentang pengadaan tersebut maka public procurement dapat dipahami dari sudut pandang obyek pengadaan, pelaksana pengadaan, dan sumber dana untuk mengadakan.
Menurut Edquist et al (2000) pada prinsipnya, pengadaan publik (Public Procurement) adalah proses akuisisi yang dilakukan oleh pemerintah dan institusi publik untuk mendapatkan barang (goods), bangunan (works), dan jasa (services) secara transparan, efektif dan efisien sesuai dengan kebutuhan dan keinginan penggunanya. Dalam hal ini, pengguna bisa individu (pejabat), unit organisasi (dinas, fakultas, dsb), atau kelompok masyarakat luas.

Dari pengertian ini maka yang dimaksud dengan public procurement ditentukan oleh siapa yang melaksanakan pengadaan bukan oleh obyek dari barang/jasanya. Bila dilakukan oleh pemerintah dan institusi publik maka dikategorikan sebagai public procurement, namun jika dilakukan oleh institusi privat (swasta) maka dikategorikan sebagai private procurement. Dalam hal ini jika institusi pemerintah maka istilah pengadaan pemeritah (government procurement) akan lebih sesuai.

Berdasarkan atas penggunanya, Edquist et all (2000) membedakan public procurement atas direct procurement dan catalic procurement. Pada direct public procurement, Institusi Publik menjadi Pelaksana Pengadaan sekaligus merupakan pengguna dari barang/jasa yang diadakan, oleh sebab itu secara intrinsik motivasi kebutuhan dan pengusulan pengadaan berasal dari Pelaksana Pengadaan yang sekaligus juga penggunanya.

Sedangkan pada catalic procurement, Pelaksana Pengadaan melakukan pengadaan atas nama dan untuk pengguna barang/jasa, namun motivasi kebutuhan dan pengusulan pengadaan berasal dari Pelaksana Pengadaan bukan dari penggunanya.
Selain kedua tipe pengadaan tersebut, dikenal pula tipe campuran yang disebut cooperative public procurement, dimana Pelaksana Pengadaan melakukan pengadaan atas nama dan untuk pengguna barang/jasa, namun motivasi kebutuhan dan pengusulan pengadaan berasal dari pengguna atau motivasi kebutuhan dari pengguna dan pengusulan pengadaan dan pelaksanaan pengadaan dilakukan oleh Pelaksana Pengadaan.

Sebagai contoh tipe cooperatif adalah pembangunan pasar, usulan pembangunan dilakukan oleh pemerintah kabupaten/kota (Dinas Pasar) bukan oleh penggunanya (pedagang pasar dan masyarakat konsumen) dan pelaksanaannya dapat dilakukan oleh pemerintah propinsi.
Selain penggolongan diatas, ditinjau dari sumber dana yang digunakan untuk pengadaan barang/jasa, maka yang dimaksud dengan public procurement adalah kegiatan pengadaan yang sumber dananya berasal dari pemerintah atau institusi publik. Dalam hal ini Indonesia menggunakan pemahaman ini untuk membedakan antara public procurement dan private procurement.
Semua pengadaan yang sumber dananya dari pemerintah baik melalui APBN, APBD, maupun perolehan dana masyarakat yang dikelola oleh institusi pemerintah dikategorikan sebagai public procurement, oleh sebab itu seluruh kegiatan dan proses pengadaannya harus mengacu dan mengikuti Perpers No. 54 tahun 2010.

3. Tujuan dan Kriteria Kinerja Pengadaan

Pada hakikatnya tujuan dari pengelolaan sistem pengadaan adalah mencari jawaban terbaik terhadap permasalahan yang timbul, baik permasalahan kebijakan pengadaan maupun permasalahan sistem pengoperasian sehingga pengadaan barang/jasa dapat berfungsi mencapai kinerja sebagaimana yang diharapkan.

Harapan dan kriteria kinerja ini tidak berlaku umum namun tergantung pada sudut pandang dan kepentingan siapa, apakah dari sudut pandang dan kepentingan pengguna (user), sudut pandang dan kepentingan pelaksana pengadaan/pengelola atau dari sudut pandang dan kepentingan masyarakat. Oleh sebab itu, kinerja sistem pengadaan akan bergantung pada siapa yang akan menilainya.
Bagi pengguna barang/jasa atau konsumen, baik buruknya sistem pengadaan akan diukur berdasarkan tingkat ketersediaan (availability) barang/jasa dan seberapa baik tingkat pelayanan (service level) yang mampu diberikan oleh pengelola sistem pengadaan kepadanya dengan harga yang terjangkau. Bagi pengguna yang penting adalah barang/jasa tersedia pada saat diperlukan dan dengan pelayanan yang sebaik mungkin.

Pengguna biasanya tidak mau peduli apakah untuk memenuhi tuntutannya tersebut pihak pengelola harus mengeluarkan ongkos yang besar atau kecil. Bahkan pengguna tidak peduli apakah pengelola merugi atau untung, yang terpenting adalah terpenuhi kebutuhannya dengan pelayanan yang baik.

Bagi pengelola, kinerja pengadaan diukur berdasarkan atas ongkos operasional pengadaan untuk suatu kurun waktu horison perencanaan operasi tertentu (biasanya dalam waktu satu tahun) tanpa mengabaikan tuntutan pelayanan penggunanya. Oleh sebab itu, pengelola barang akan memilih barang dengan harga yang paling murah (lowest price). Namun, jika kualitas barang dan umur pakainya berbeda maka harga yang paling murah belum tentu akan memberikan ongkos operasional yang paling rendah.

Oleh sebab itu, kriteria total ongkos terendah selama umur pakai (total cost ownership) perlu digunakan. Selanjutnya, bila barang/jasa tersebut digunakan untuk keperluan produksi yang manfaatnya dirasakan oleh masyarakat luas maka ongkos terendah selama umur pakai belum tentu akan memberikan keuntungan atau manfaat yang besar. Oleh sebab itu, kriteria nilai manfaat terbesar dari uang (the best value for money) digunakan untuk menggantikan kriteria total ongkos terendah selama umur pakai (total cost ownership).

Sumber Artikel:
Majalah Jurnal Pengadaan LKPP, dapatkan edisi lengkap majalah ini, download edisi lengkap Jurnal Pengadaan LKPP edisi 01/2011 disini:

Jurnal Pengadaan

Ini adalah blog versi lama heldi.net , untuk upate bira pengadaan treabaru Silakan kunjungi blog terbaru di www.heldi.net
Share
Blog ini adalah versi lama dari heldi.net, silahkan kunjungi Blog baru di www.heldi.net