Percepatan Pengembangan Industri Farmasi dan Alat Kesehatan

July 28, 2016 by  

Artikel ini ada pada kategori Pengadaan - Berita dan Artikel Pengadaan

sarahsadiqaLKPPLembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah menyambut positif penerbitan Inpres Nomor 6 Tahun 2016 Tentang Percepatan Pengembangan Industri Farmasi dan Alat kesehatan. Program percepatan yang melibatkan 9 kementerian dan 3 lembaga termasuk LKPP, ditujukan untuk mewujudkan kemandirian dan meningkatkan daya saing industri dan alat kesehatan dalam negeri.

Dalam menjalankan instruksi  itu, Deputi Bidang Monitoring, Evaluasi, dan Pengembangan Sistem Informasi Sarah Sadiqa  menuturkan, LKPP saat ini terus berkoordinasi dengan Kementerian Kesehatan—sebagai otoritas yang mengurusi  bidang kefarmasian dan alat kesehatan—dalam menetapkan arah kebijakan pengadaan di sektor kesehatan. Dalam usaha memenuhi kebutuhan obat nasional, misalnya, LKPP telah membantu mengkatalogkan obat, baik generic maupun nama dagang, sesuai dengan formularium dan RKO yang diusulkan Kemenkes. “Memang kewenangan itu adalah kewenangan Kementerian Kesehatan. Kami di LKPP sesuai dengan kapasitas kompetensi di (bidang)pengadaan. Jadi, kami akan men-support penuh di (bidang) pengadaannya,” ujar Sarah.

Di sisi lain, Sarah mengakui bahwa jumlah produk alat kesehatan yang berhasil dikatalogkan saat ini belum merepresentasikan jumlah yang ideal dibandingkan dengan total keseluruhan alat kesehatan yang sudah diproduksi. Per 11 April 2016, tercatat ada 7.561 produk alat kesehatan yang telah ditayangkan di e-katalog. “Kami pun tahu sehingga yang harus dilakukan kemudian adalah kita harus mencari smart solution atau cara efektif supaya bisa mempercepat, mendorong, memperbanyak alat alat kesehatan di dalam katalog,” ujar Sarah.

Namun demikian, usaha percepatan katalogisasi produk alkes itu, menurut Sarah, perlu didukung pula dengan perencanaan dan arah kebijakan yang tepat sasaran. Salah satunya melalui penerapan katalogisasi berdasarkan usulan yang disampaikan kementerian atau lembaga yang terkait. Hal ini agar usaha katalogisasi yang dilakukan LKPP benar-benar dapat memudahkan dan memenuhi kebutuhan pengadaan nasional.

Merujuk pada data tingkat efektifitas penggunakan katalog, Sarah menyebutkan bahwa hanya 12-15% dari keseluruhan produk e-katalog yang ditransaksikan pemerintah. “Sekarang dibalik, yuk, bagaimana  kalau pemerintah menyatakan bahwa dia perlu barang ini dan barang itu sehingga yang diproses di e-katalog itu adalah barang  targeted (atau) barang yang betul betul dibutuhkan oleh kementerian,” tuturnya. Dengan berlakunya kebijakan ini, ia berharap e-katalog dapat digunakan secara lebih masif dan meningkatkan efektifitas dan akuntabilitas pengadaan pemerintah.

Terobosan LKPP

Selain terus mendorong Kementerian Kesehatan untuk memberikan usulan secara periodik, Sarah juga mengajak penyedia dan asosiasi di bidang kefarmasian dan alat kesehatan untuk membantu memetakan kebutuhan pengkatalogan produk alkes.

Di samping itu, LKPP juga tengah mewacanakan pemberian privilese berupa penetapan prioritas terhadap produk-produk dalam negeri. Hal ini merupakan strategi LKPP dalam mempercepat dan menguatkan basis industry kefarmasian dan alat kesehatan dalam negeri. “Maka itu, harus kita tunjukkan bahwa barang ini sudah ada  dan ini sudah in line dengan produksi dalam negeri sebagaimana diperintahkan oleh pimpinan,” ujarnya.

Privilese itu, rencananya, akan diimplementasikan dalam bentuk pemberian tanda (sign)pada produk-produk e-katalog yang telah mendapatkan izin edar alkes dalam negeri (EI AKD) dari Kementerian Kesehatan. Strategi privilese itu juga akan dibarengi dengan pemberian informasi daftar kefarmasian dan alat kesehatan dalam negeri yang disusun LKPP dan Kemenkes kepada seluruh instansi dan rumah sakit. “Nah, jadi bersambung nih Bapak/Ibu sekalian. Kita yang memproses harus berpikir produksi dalam negeri, yang membelinya pun diimbau untuk membeli yang produksi dalam negeri ,” terang Sarah.

Sementara itu, Direktur Jenderal dan Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan Maura Linda Sitanggang menyebutkan bahwa penguatan basis industri kefarmasian dan alat kesehatan di Indonesia menjadi modal penting dalam pengembangan industri ini secara berkelanjutan. Dengan potensi perekonomian Indonesia yang mencapai 36% dari PDB di kawasan ASEAN dan jumlah penduduk yang besar, Linda memandang perlu dilakukannya peningkatan ketersediaan, keterjangkauan, pemerataan kualitas farmasi dana alat kesehatan. “Jadi kualitas ini juga harus dijamin. Produk harus ada izin edar, tidak palsu, juga bermutu, bermanfaat, dan juga aman tentunya,” kata Linda.

Apalagi, lanjut Linda, saat ini baru ada 95 industri alat kesehatan di Indonesia dengan jumlah produksi sebanyak 60 jenis produk dengan level risiko dan penerapan teknologi  pada tingkatan rendah menengah.  Bahkan, penggunaan alat kesehatan impor di Indonesia pun masih mendominasi dibandingkan dengan alat kesehatan produksi lokal dengan perbandingan 90:10. “Untuk itu, kami diwajibkan untuk membuat rencana aksi. Rencana aksi itu berarti dibuat bersama-sama Bapak/Ibu sekalian di luar e-katalog kita mau mengembangkan seperti apa,” ujar Linda.

Mengacu pada masukan yang disampaikan Kementerian Kesehatan, LKPP berencana akan mengundang penyedia untuk memasukkan penawarannya  per satu jenis produk dengan sistem termin (batch). Hal ini dianggap lebih mempermudah pemrosesan katalogisasi produk. “Karena itu untuk lebih mudah mengontrolnya dan lebih mudah di-manage-nya akan dibuka batch per batch,”pungkas Sarah. (eng)

Sumber: www.lkpp.go.id

Ini adalah blog versi lama heldi.net , untuk upate bira pengadaan treabaru Silakan kunjungi blog terbaru di www.heldi.net
Share
Blog ini adalah versi lama dari heldi.net, silahkan kunjungi Blog baru di www.heldi.net