\n

Dhana Widyatmika – kejanggalan kasus korupsi

May 26, 2014 by  
Filed under Curhat PNS online

Sumber : http://sepedakwitang.wordpress.com/2012/03/02/dhana-widyatmika-opini-pribadi/

Kamu PASTI akan diuji dengan hartamu dan dirimu. Dan pasti kamu akan mendengar banyak hal yang sangat menyakitkan hati dari orang-orang yg diberi kitab sebelum kamu dan orang-orang musyrik. Jika kamu bersabar dan bertakwa, maka sesungguhnya yang demikian itu termasuk urusan yang (patut) diutamakan (Ali-Imran : 186)

Kebiasaan saya setelah tilawah beberapa lembar, maka akan membaca terjemahnya dari ayat terakhir. Dan ayat 186 surat Ali-Imran adalah yang pertama kali saya baca subuh ini. Kaget. Luar biasa kaget. Sepanjang hari Rabu kemarin saya terus mendengar (dan membaca) berita tentang Pak Dhana Widyatmika. Tentang kasus “dugaan” korupsinya yang puluhan milyar itu. Tentang beliau yang disejajarkan kedudukannya dengan Gayus Tambunan. Tentang beliau yang walaupun bukti masih belum jelas, tapi status sudah jelas : tersangka! Ada penolakan ketika pemberitaan media yang over mengenai kasus ini. Beberapa selentingan di kantor-pun terdengar tidak mengenakkan. Terlebih setelah ada teman kantor yang nyeletuk :

DW (Dhana Widyatmika) itu anak Masjid loh! ternyata gitu ya?

Saya cuman beristighfar. Apa benar DW separah itu? sampai menangis saya dibuatnya. Berlebihan? Terserah. Saya merasa ini ujian berat buat instusi kami (Kementerian Keuangan) dan Dien kami : Islam. Dengan embel-embel yang mengikuti sosok DW : Anak Masjid, ngikwah, rajin puasa daud, dsb, saya merasa ada keterikatan secara batin sampai harus menagis. Sebelum pemberitaan media, saya sama sekali tidak tau dengan Sosok DW. Baru Rabu kemarin saya mencoba mencari tau, lewat berbagai media online dan obrolan ringan dengan beberapa teman kantor yang mengetahui sosok DW (saya bekerja di Badan Kebijakan Fiskal, salah satu bagian dari Kementerian Keuangan). Pun ternyata ada Peneliti di kantor saya yang satu angkatan dengan Pak DW saat masih kuliah di STAN dulu.

Memang benar, selain Penguasa yang dzolim, media dengan berita penggiringan opini publik yang ngaco serta pemberitaan yang tidak berimbang merupakan salah banyak bentuk kejahatan yang gila-gila-an! Media sudah berani meng-upload berita yang belum jelas kebenarannya. Semisal : angka 60M yang oleh d*tik digambarkan seolah-olah mutlak, sudah pasti benar. Dari yang saya telusuri : aneh! Banyak berita-berita yang tidak masuk akal. Saya bukan pengamat hukum, bukan pengamat ekonomi, bukan pengamat apapun. Tapi dari pemberitaan yang saya terima, ada beberapa hal yang masih nge-ganjel (juga saya posting di akun twitter saya @sepedakwitang, dengan hastag #ttgDW) :

1. Kasus DW diungkap karena laporan dari masyarakat yang menaruh curiga, dan langsung diekspose oleh Kejagung begitu saja. Padahal ada banyaaaak kasus yang sudah di olah oleh PPATK, ibaratnya kalau dari PPATK “tinggal masak”, gak perlu belanja dulu cari-cari bukti dari kasus yang ada. kenapa?

2. Heboh dengan jumlah bulat : 60M. Yakin itu 60M? dari detik saya membaca seperti ini : dari sumber yang terpercaya. Loh, justru menimbulkan pertanyaan kan? Siapa itu sumber yang terpecaya? Nyatanya Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak Kementerian Keuangan Fuad Rahmany menyatakan bahwa angka 60M itu akumulasi dari SELURUH transaksi di rek Pak DW, bukan jumlah saldo, sorry to say, ini yang bodoh siapa sih? Terbukti Kamis kemarin saat Pak DW mulai proses pemeriksaan, ada oknum wartawan “preman” yang bikin rusuh. Apa termasuk di dalamnya “sumber yang terpecaya, si 60M” itu? allahualam.

3. Pak DW justru di sebut-sebut sebagai Gayus Jilid II, bahkan yang lebih parah : Gurunya gayus! Karena Pak DW kakak kelas saat di STAN dulu. Media bilang Pak DW lebih sadis dari Gayus : berlagak alim, tapi korupnya lebih besar dari Gayus. Yakin lebih besar? kalau-pun nilai 60M itu disandingkan dengan kejahatan Gayus, angkanya masih di bawah Gayus kok.

4. Rumah mewah. Yakin rumah mewah? Lokasinya bukan di kawasan elit loh, rumah-nya biasa. Untuk ukuran di Jakarta-pun itu biasa. Bandingkan dengan Pejabat-Pejabat polisi yang rumahnya alaihim gambreng. Terlebih itu rumah warisan dari alm. Ibunya kok, bisa tanya ke tetangganya.

5. Mobil mewah. Asli deh media hebohnya minta ampun menggambarkan sosok DW : Muda, Kaya, Rumah mewah, Mobil Mewah, dll. Nyatanya mobil Cysler tahun 2001 kok, harga secondnya gak sampai 200 jt, bahkan bisa dibeli dengan 120jt.

6. DW sudah di tetapkan sebagai tersangka, tapi tau kah kita kalau ternyata bukti-buktinya masih dicari-cari, katanya : bertebaran kemana-mana. Lucu ya?

7. Pemberitaan media mengenai PNS yang berbisnis itu kurang lengkap. Mestinya diberitakan mengenai Presiden SBY yang sudah mengeluarkan peraturan pemerintah baru pengganti PP 30 tahun 1980 yang dikeluarkan Presiden Soeharto, diganti oleh PP 53/2010 pada 6 Juni 2010. Pun dengan PP 06 tahun 1974.  Intinya seperti ini :

Dalam PP nomor 53 tahun 2010 yang dikeluarkan SBY, ternyata pasal-pasal larangan berbisnis dihapuskan. Dalam aturan tersebut, terdapat 15 poin dalam pasal 4 yang berisi larangan-larangan bagi PNS. Antara lain, PNS dilarang bekerja pada perusahaan asing, konsultan asing, atau lembaga swadaya masyarakat asing.

Kemudian PNS dilarang memiliki, menjual, membeli, menggadaikan, menyewakan, atau meminjamkan barang-barang baik bergerak atau tidak bergerak, dokumen atau surat berharga milik negara secara tidak sah.

PNS juga dilarang melakukan kegiatan bersama dengan atasan, teman sejawat, bawahan, atau orang lain di dalam maupun di luar lingkungan kerjanya dengan tujuan untuk keuntungan pribadi, golongan, atau pihak lain, yang secara langsung atau tidak langsung merugikan negara.

8.  Pak DW yang sudah pindah ke Dispenda diberitakan karena merasa tindakan korupsinya sudah tercium oleh pemangsa, padahal Pak DW pindah ke Dispenda karena alasan akan di mutasi ke daerah yang lebih pelosok. Allahualam.. [btw, ini Menkeu loh yang menduga, 🙁 ]

Ada lagi yang mau nambahin?

**

Sejak saya jadi rajin baca komen-komen di detik, well selamat ya media : Kalian berhasil menjelek-jelek-an STAN (Sekolah Tinggi Akuntansi Negara). Miris luar biasa..

Ini ada hastag #STANygTerzholimi (twitter.com/dedhi_suharto)

1.Bismillahirrahmanirrahim, saya telah merasakan bahwa banyak pihak telah menjadikan STAN sbg pihak yg terzholimi.

2. Byk koruptor besar di negeri ini ttp tdk pernah diekspose dr mana kuliahnya dulu. Tapi begitu Gayus, nama STAN disebut.

3. Dan skrg muncul Next Gayus, nama STAN disebut2 lagi. Dan nama STAN tdk disebut2 ktka STAN mmberikan putera2 terbaiknya.

4. Jrg org mendengar bhw Amin Sunaryadi, mantan komisioner KPK jilid I, adalah alumni STAN. Krn nama STAN tidak diekspose.

5. Juga Haryono Umar, mantan komisioner KPK jilid II, adalah alumni STAN. Karena u yg positif2 nama STAN tidak diekspose.

6. Bahkan bnyak alumni STAN yg mndarmabaktikan tenaga dan pikirannya di KPK dan BPK RI, tidak pernah diekspose oleh media.

7. Juga siapa yg tahu @Sunarsip (pengamat ekonomi), Bbrapa DPN IAI, @helmyyahya (raja quiz), Edwin Trio Libels (penyanyi)..

8. .. Igo Ilham (bintang film/dai), Ito Warsito (Direktur BEI), Dandossi (pengamat pasar modal) dll adalah alumni STAN?

9. Mungkin Anda bilang, “Gayus khan korupsinya miliaran?” Maka saya jawab,”Apa alumni lain tidak seperti itu?”

10. Mari kita hitung: korupsinya Gayus dan next gayus dan next nextnya Gayus berapa? Mencapai gak 1 Triliun?

11. Lalu berapa kontribusi alumni STAN di Pajak, Bea Cukai dll? Penerimaan pajak & BC 2011 kemarin sekitar 1000 Triliun.

12. Komposisi alumni STAN sekitar 20 s.d. 40%. Katakanlah 20% berarti kontribusinya 200 Triliun. Apakah ini tdk dianggap?

13. Mungkin ada yg mngatakan,” Apa peran STAN di masa reformasi?” Saya katakan,”Mahasiswa STAN hadir di DPR/MPR di hari2 turunnya Soeharto.”

14. Dn STAN aktif di Forum Komunikasi Senat Mahasswa (skrg BEM) se-Jakarta (FKSMJ) mngawal reformasi 1998.

15. Mungkin Anda bertanya2,” Jangan2 banyak model Gayus.” Saya katakan,”Byklah bergaul dg anak2 STAN”

16. Anda akn dapati byk anak STAN yg sederhana, bahagia, & berakhlaq mulia, baik yg di Pajak, Bea Cukai, BPK RI, BPKP, dll

17. Kami tdk menutup mata ada yg model Gayus dan yg bunuh diri, tapi jumlahnya sgt sedikit. Dan itu bukan krn STAN.

18. Kuliah STAN mngajari kami untuk jujur. Seleksi penerimaannya ketat. Kami masuk STAN hanya bermodalkan kecerdasan kami.

19. STAN satu-satunya PT yg menerapkan Sistem Maut DO setiap tahun. Kami diajari u selalu belajar dan belajar.

20. Sbg refreshing kami rutin ikut pembinaan mental agama hg ada yg jd Ustadz seperti Igo Ilham dan alm. Nurhuda Trisula.

21. Saya akhiri #STANygTerzholimi dg pesan: mari kita jaga almamater kita dg menjaga perilaku dan tindakan kita. Jgn rugikan negeri ini.

22. Brikn yg trbaik u Indonesia. Subhanakallahumma wabihamdika asyhadu an laa ilaaha illa anta astaghfiruka waatubu ilaik.

sebagai tambahan baca ini deh :

http://hukum.kompasiana.com/2012/02/21/ketika-nyali-ketua-ppatk-muhammad-yusuf-mendadak-menciut/

http://www.fimadani.com/dhana-widyatmika-lelaki-di-pintu-surga/

**

Al haqqu mirrabbikum, falaa takunnana minal mumtariin, Yang benar/Haq itu datangnya dari ALLAH SWT, dan janganlah kamu menjadi orang yang ragu..

Ps.

Saya belum mengetahui kebenaran yang sebenar-benarnya seperti apa. Apa benar Pak DW melakukan tindak korupsi, atau tidak. Apa itu Fitnah atau tidak. Ini hanya menshare opini pribadi. Mohon maaf jika ada yang kurang berkenan..

Anyway, buat temen-temen di Kemenkeu, Khususnya DJP : SEMANGAAAAATTT!! kita gak sendirian, ada ALLAH ^___^

depkeuangan

 

Sumber: Tempo.co.id

Kasus Dhana Widyatmika membuat Ajib Hamdani angkat bicara melalui blog pribadinya. Ia curhat atau blakblakan soal “jebakan dan konspirasi” di lingkungan tempatnya bekerja, sehingga harus berurusan dengan polisi.

Ajib Hamdani adalah petugas pajak nonaktif Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Kelapa Gading. Ia harus berurusan dengan polisi gara-gara hartanya mencapai Rp 17 miliar. Laporan Utama Majalah Tempo “Orang Pajak Taat Palak” mengulas soal lika-liku Ajib di kantor pajak.

Ajib memuat tulisannya bersamaan dengan terbitnya majalah Tempo. Dalam tulisan “Sebuah Dedikasi yang Tergadai oleh Konspirasi” yang dimuat di situsnya Senin 5 Maret 2012, Ajib cerita di balik persoalan yang menimpanya. Kepada Tempo.co, Ajib membenarkan blog itu miliknya dan memperbolehkan untuk menulisnya.

Menurut Ajib, harta Rp 17 miliar miliknya seharusnya tak menjadi masalah karena diperoleh dari bisnisnya. Ia menduga kasusnya pesanan dari kelompok yang tidak menyukainya. Ada insiden ketika Ajib menolak tawaran bekerja sama dan memberikan “setoran” kala masih bekerja sebagai seksi Ekstensifikasi dan Penilaian.

Cerita berawal pada 2009. Saat itu, Ajib mengaku diajak rekannya di KPP Pratama Jakarta Kelapa Gading kerja sama dan “setor uang”. Ajib tak menjelaskan buat siapa setoran uang itu.

Ketika Ajib menolak tawaran kerja sama, beberapa rekannya mengatakan kariernya bakal tamat. Ajib tetap menolak karena sejak awal memang berniat keluar dari PNS setelah masa dinas berakhir 2012 nanti. Sebulan setelah penolakan itu, Ajib dipindah ke Seksi Pelayanan.

Ajib mengajukan surat permohonan mengundurkan diri disertai syarat formal dan uang ganti rugi ikatan dinas. Surat itu diajukan pada 18 Agustus 2009. Ia mengirimkan melalui tempatnya bekerja, diteruskan ke DPJ dan Menteri Keuangan. “Alasannya bisnis yang dirintis mulai berkembang dan membutuhkan waktu lebih untuk mengontrolnya,” kata Ajib.

Niat Ajib mengundurkan diri sebagai PNS tidak mudah. Ajib mendapat informasi bahwa surat pengunduran dirinya ditahan karena dianggap tak memenuhi prosedur. “Intinya tidak diteruskan,” ujarnya.

Meski surat pengunduran diri tertahan, Ajib memutuskan tak masuk kerja sejak 1 September 2009. Ia merasa surat pengunduran dirinya sudah lengkap. Ternyata urusan inilah yang kemudian berbuntut panjang.

Setahun kemudian, 2010, Ajib dipanggil bagian pengawasan DJP. Ia lalu dipanggil tim Investigasi Bidang Internal (IBI), Itjen Kementerian Keuangan, pada Agustus 2011. Setelah itu ia dipanggil ke Badan Reserse dan Kriminal Polda Metro Jaya. “Sudah dapat ditebak, siapa yang membuat laporan ke Bareskrim, pihak-pihak yang tidak menginginkan saya tetap bersih,” kata Ajib.

 

Sumber vivanews.com

Lima Tahun lalu, Majalah Tarbawi menulis kisah tentang seorang pria muda yang begitu perhatian dan memberikan perawatan lebih terhadap ibunya yang mengalami gagal ginjal.

Untuk ukuran seorang pemuda yang baru menikah, bagi Tarbawi, pria itu sangat langka. Pria muda itu bernama Dhana Widyatmika. Nama yang sama dengan tersangka kasus rekening gendut pegawai Direktorat Jenderal Pajak. Rekening Dhana bagi Kejaksaan Agung disebut tidak sesuai profil.

Tapi, apakah itu Dhana yang sama? Widowati, reporter Tarbawi yang saat itu mewawancarai pria bernama Dhana Widyatmika sangat berat memastikan itu adalah orang yang sama. Tapi menurut Widowati, semua informasi tentang Dhana dari mulai alamat rumah, riwayat pendidikan di Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN) dan Universitas Indonesia, sampai kepemilikan showroom mobil,  sama dengan Dhana yang menjadi tersangka di Kejaksaan.

Mengapa Tarbawi memilih sosok Dhana Widyatmika untuk rubrik edisi khusus Ramadhan tahun 2007 silam? Apakah ada yang merekomendasikan? Apakah pesanan seseorang? Atau ada alasan lain? Widowati yang kini menjadi Redaktur di Majalah Tarbawi membantah semua pertanyaan itu.

Bagaimana pertemuan Widowati dengan Dhana? Lima tahun lalu, Widowati memang merancang liputan dan penulisan tentang dialisis atau penyakit gagal ginjal. Tulisan Widowati akan dibuat secara mendalam. Widowati memilih untuk ‘berkantor’ di Rumah Sakit TNI Angkatan Udara Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur. Berhari-hari dia berada di rumah sakit itu untuk melihat segala proses tentang cuci darah.

Semua orang yang hilir-mudik untuk cuci darah menjadi perhatian Widowati. Salah satunya adalah seorang pria muda yang setiap hari terlihat mengantar ibunya yang menderita gagal ginjal. Pria muda itu menarik perhatian Widowati. Akhirnya, dia menarget pria muda itu untuk menjadi bahan utama tulisan di rubrik “Kajian Utama.” Sisi humanis dari pria muda itu akan ditulis mendalam.

“Setiap hari saya melihat seorang pria muda memapah ibunya yang akan cuci darah. Orang ini pantas. Lalu saya berkenalan. Namanya Dhana Widyatmika,” kata Widowati dalam perbincangan dengan VIVAnews. Widowati tidak bisa langsung wawancara panjang dengan Dhana Widyatmika saat berkenalan di rumah sakit. Karena kesibukannya sebagai pegawai pajak, Dhana membuat jadwal pertemuan dengan Widowati. Sepakat. Pertemuan berlangsung di rumah sakit. Wawancara berlangsung seharian.

“Saya melihat sendiri bagaimana dia merawat ibunya dengan penuh kasih sayang. Tidak banyak orang muda yang sebaik itu. Beliau mengantar ibunya cuci darah saat jam kerja.”

Dalam satu sesi wawancara, Dhana mengaku  sebetulnya sangat berat meninggalkan sang ibu. Maka itu Dhana dan istri memilih tinggal satu rumah dengan ibunya. “Mereka itu orang berada. Jadi tidak mungkin Mas Dhana tak mampu beli rumah,” kata Widowati.

Satu cerita, Dhana akan bertugas ke luar kota. Dia, kata Widowati, harus benar-benar memastikan ada orang lain, kerabat, atau siapa pun yang dipercaya untuk menjaga ibundanya selama dirinya keluar kota. Barulah dia berangkat dinas ke luar kota.

Hasil wawancara panjang itu sudah dimuat Majalah Tarbawi Edisi 164 Th.8/Ramadhan 1428 H/21 September 2007 M. Edisi khusus bulan puasa. Judul aslinya “Meski Dalam Kondisi Sakit, Berkah dari Ridho Ibu Tidak Berubah.”

Dalam tulisan-tulisan yang beredar di twitter dan Facebook, tulisan Majalah Tarbawi itu sudah berubah menjadi “Dhana Widyatmika, Lelaki di Pintu Surga.” Beberapa sub judul dalam tulisan asli Widowati juga berbeda dengan yang beredar di dunia maya saat ini.

Meski banyak kecocokan data, dan kemiripan foto Dhana tersangka dengan Dhana yang diwawancarai, Widowati masih berat memastikan itu adalah pria yang sama yang ditemuinya lima tahun lalu.

“Orang yang saya wawancarai ini orang yang sangat baik. Dia religius. Semua yang saya tulis itu, saya yakini benar. Saat itu 2007, sekarang 2012. Kalaupun ada perubahan, tapi saya yakin, dia masih orang baik,” kata Widowati.

 

LELAKI DI PINTU SURGA

Ketika ibunya tengah sakit keras dan harus buang hajat di pembaringan, Dhana tidak tega menggunakan pispot karena menurutnya benda itu terlalu keras dan nanti bisa menyakiti tulang ibunya. Sebagai gantinya, ia menengadahkan kedua tangannya dengan beralaskan tisu untuk menampungnya.

***

Ia membuat beberapa orang yang bergaul dengannya merasa iri. Sebagian berkomentar, lelaki muda itu telah dekat dengan pintu surga. Beberapa yang lain berpendapat, sungguh beruntung ia merawat ibunda tercinta dengan kualitas maksimal. Namun, Dhana Widyatmika (33 tahun), putra pertama dari Ibu Sundari (59 tahun) itu hanya berucap, apa yang ia lakukan biasa-biasa saja.

“Saya tidak pernah merasa ini sesuatu yang hebat. Saya hanya melakukan apa yang seharusnya dilakukan. Ini kewajiban. Saya yakin semua anak juga akan melakukan hal yang sama,” ucapnya.

Ditemui di sela-sela rutinitasnya menjaga dan menemani sang ibu yang dua kali dalam seminggu harus cuci darah, Dhana mengisahkan, selama tiga belas tahun ini, ibu menjadi prioritas utama dalam hidupnya.

Ujian Bertubi-tubi

Semua berawal ketika bulan Februari 1995, Ibu Sundari divonis gagal ginjal

“Ibu batuk-batuk, mual. Saya pikir sakit biasa. Waktu dibawa ke rumah sakit, kadar ureumnya di atas 300, padahal orang normal harus di bawah 40. Artinya racun dalam darah sudah menumpuk. Jadi harus langsung cuci darah. Saat itu, kadar hemoglobin (Hb) Ibu hanya 3,4 sehingga harus transfusi darah, padahal ketika itu bulan puasa, persediaan darah di PMI sangat terbatas sehingga harus mencari donor darahnya,” terang Dhana yang ketika itu masih duduk di tingkat dua sebuah sekolah tinggi di Jakarta.

Sesungguhnya rasa duka kehilangan almarhum ayah dua tahun sebelumnya masih membekas di hati Dhana. Baginya, kepergian ayah menghadap Sang Maha Kuasa bagaikan kiamat kecil. “Saya tidak menyangka. Bapak masih gagah, karir sedang posisi menanjak, dan saya baru masuk kuliah,” kenangnya.

Masih segar dalam ingatannya, hari  ketika ayahnya wafat. Dhana tengah sibuk mencari kaos kaki warna-warni di jatinegara sebagai salah satu syarat mengikuti ospek di kampusnya. “Waktu pulang saya lihat orang ramai, ternyata Bapak meninggal. Sangat mendadak. Saya tidak siap, tapi harus siap. Sebenarnya juga tidak tabah. Apalagi dua tahun kemudian Ibu menderita sakit berat. Kalau bicara mental jatuh, ini jatuh yang kedua. Kok belum selesai musibah yang saya alami dua tahun belakangn ini,” tuturnya.

Kepergian ayah menjadikan sulung dari dua bersaudara yang baru saja lepas SMA itu berubah menjadi kepala keluarga. Tak heran jika dialah yang pertama diberitahu dokter tentang keharusan ibunya untuk cuci darah. Sebuah kabar yang tentu tidak mudah didengar. “Awalnya Ibu tidak tahu. Ibu pikir hanya sekali cuci darah, setelah itu sembuh. Dokter panggil saya, katanya ini harus rutin cuci darah. Saya kepala keluarga dan memang harus menanggung semuanya,” kenangnya.

Dhana sendiri, meski sangat sedih mendengar kondisi kesehatan ibunya, namun saat itu ia merasa optimis, penyakit Ibu akan sembuh dan keadaan akan membaik kembali. “Shock, tapi tidak berpikir bahwa ini tidak bisa sembuh. Saat itu saya tidak menyadari. Dokter juga tidak bilang secara gamblang kalau tidak bisa sembuh. Tahun pertama belum merasa bahwa ini akan menjadi rutinitas. Saya anggap nanti akan ada akhir untuk sembuh,” ujarnya.

Keyakinan bahwa setiap penyakit pasti ada obatnya menyemangati Dhana dan ibunya untuk tak henti-hentinya mencari penyembuhan, baik medis maupun obat alternatif.  Sejak 1995 hingga 2004, boleh dibilang semua pengobatan alternatif yang pernah dilihat di televisi pernah dicoba, namun hingga sekarang, ibunda Dhana tetap harus cuci darah.

Di awal mendengar vonis gagal ginjal, Ibu Sundari sempat mengalami masa-masa penolakan dan kesedihan. Penanganan cepat serta perawatan medis yang sangat memadai memang mampu mengembalikan kondisi fisiknya, kecuali ginjal. Namun keharusan cuci darah sangat menguras ketabahannya. Alhasil, di tahun pertama sejak ibunya sakit, Dhana lebih banyak mengerahkan segenap daya dan usaha untuk membantu mengangkat moril Sang Ibu.

“Secara fisik ibu agak bagus, tapi mentalnya down sekali. Setiap habis cuci darah, pulang, balik lagi ke rumah sakit. Lebih karena psikis. Kadang ada rasa tidak enak di badan, sampai di rumah sakit diperiksa dokter tidak ada apa-apa. Obatnya cuma istirahat. Ibu juga sering bertanya, kapan tidak cuci darah lagi,” tuturnya.

Selain stress karena sudah berusaha berbagai cara tapi tidak juga sembuh, proses cuci darah juga mengandung bagian yang cukup sakit dan menakutkan. “Ada saatnya Ibu merasa, ngapain hidup bergnatung mesin terus. Kalau besok mau dicuci sudah stress, memikirkan akan ditusuk jarum. Sampai sekarang pun Ibu masih selalu kesakitan waktu ditusuk. Saya sangat sedih melihatnya. Melihat orang yang saya cintai ,menderita, itu menjadi penderitaan juga bagi saya. Tapi saya berusaha bertahan. Kalau saya down, bagaimana dengan Ibu.”

Konsentrasi Merawat Ibunda

Sadar kondisi ibunya sangat labil, Dhana memutuskan konsentrasi sepenuhnya untuk menemani Ibu menjalani berbagai proses pengobatan. Tiap hari, sepulang kuliah, Dhana langsung ke rumah sakit. Menghabiskan malam di lantai di bawah tempat tidur ibunya menjadi bagian pola kehidupan Dhana. Menurutnya, posisi di bawah tempat tidur membuatnya cepat mengetahui kalau ada apa-apa. Pagi-pagi biasanya ia pulang sebentar sekadar berganti baju dan membersihkan badan, lalu kuliah. “Saya punya kos, tapi tidak pernah saya tinggali karena kondisi ibu sangat tidak stabil. Selama kuliah tidak sempat bersosialisasi dengan teman-teman karena waktunya tidak memungkinkan. Saya lebih banyak ke Ibu. Saya hanya meninggalkan Ibu ketika kuliah,” tuturnya.

Pilihan untuk mendahulukan Ibu di atas semua urusan lainnya, secara logika, sebenarnya tidak selalu mudah bagi Dhana, yang kebetulan kuliah di sekolah yang lumayan ketat dalam kedisiplinan (Sekolah Tinggi Akuntansi Negara – Red. Fimadani). Ketika kondisi ibunya sedang sangat menurun, Dhana memilih tidka kuliah agar bisa menemani ibunya. Keputusan itu, bukan hanya melewatkan kesempatan mendengar materi kuliah langsung dari dosen, tapi juga membuatnya kesulitan mencapai batas absen yang diijinkan.

“Kuliah tidak masuk, saya tidak peduli. Saya lebih baik drop out daripada harus meninggalkan ibu saya. Itu yang saya yakini. Boleh dibilang saya tidak pernah belajar meski saat ujian. Bukan karena sombong, tapi memang tidak sempat. Saya sadar risikonya dan juga siap menanggungnya. Tidak pernah ada konflik batin ketika memutuskan itu. Prioritas saya untuk Ibu. Saya tidak pernah sedikitpun khawatir, bagaimana masa depan saya, bagaiman alau tidak lulus atau drop out. Terserah deh, hidup saya mau dibawa kemana. Saya ikut saja. Saya hanya berpikir bagaimana Ibu bisa nyaman, bisa tertolong dari kondisi ini,” jelasnya.

Dhana bersyukur karena ia sama sekali tidak ragu dan yakin menjalani keputusan mengesampingkan kuliah untuk merawat ibunya. Ia merasa, Allah yang membuat hatinya mantap. Selain itu ia berusaha melaksanakan pesan Ayah agar dia menjadi lelaki yang mampu bertnaggungjawab. Dhana mengenang, ketika ia memijit ayahnya, beliau berpesan, “Jika nanti ada sesuatu yang buruk menimpa keluarga, kaulah yang harus menggantikan tugas Bapak, dan kamu harus siap.”

“Saya pikir itu pembicaraan biasa. Saat Bapak meninggal, saya jadi ingat sekali pesan itu. Ketika Ibu sakit, saya semakin yakin, ini yang dimaksud Bapak. Mungkin pesan itu yang membantu saya untuk prioritas ke Ibu. Hanya Ibu, tidak ada hal lain yang saya pikirkan. Saya tahu, saya juga punya kehidupan sendiri yang harus saya tata, tapi saya yakin, saya tidak salah meninggalkan masa depan dan meilih Ibu. Itu keputusan dan komitmen saya. Biarlah masa depan tidak jelas, yang penting saya puas bisa mengabdikan diri pada orang tua,” ucapnya.

Usaha mencari kesembuhan fisik serta menjaga mental ibunya gar terus emangat menjalani pengobatan dilakukan Dhana tanpa henti. “Saya tidak pernah putus asa. Saya menikmati saja. Bahkan saya banyak belajar dari semua ini. Saya coba resapi. Pelajaran yang palin besar itu kesabaran. Kondisi ini membuat saya harus banyak mengalah, bersabar, dan menerima. Ini pasti ada maksudnya, ada hikmahnya,” ujarnya.

Pertolongan Allah itu Indah

Di tengah berbagai usaha yang menguras tenaga, waktu, dan tentu juga uang, Dhana justru kian merasakan betapa banyak kemudahan tak terduga. “Banyak hal aneh yang saya rasa kayaknya tidak mungkin kalau saya balik lagi, kondisi itu akan terjadi lagi,” kenangnya.

Dhana yang sering bolos kuliah, akhirnya harus menerima risiko tidak diperbolehkan mengikuti ujian oleh dosen yang kebetulan dikenal sangat disiplin dan tidak gemar menerima alasan apapun dari mahasiswa yang sering tidak hadir kuliah. “Saya mengahdap dosen itu, saya belum ngomong apa-apa, dia bilang, ya sudah ikut ujian saja. Banyak pertolongan di luar dugaan. Masalah obat juga. Ibu sangat membutuhkan obat, tapi kebetulan stock habis. Cari kemana-mana tidak ada, padahal ibu sangat membutuhkan dan harus cepat. Saya kirim kabar ke banyak kenalan, tidak lama ada yang memberitahu ada obat. gampang sekali,” tuturnya.

Selain itu, Dhana yang memutuskan tidak peduli masa depan asalkan ibunya bisa mendapatkan perawatan, obat dan segala yang terbaik, akhirnya bukan hanya mampu menyelesaikan sekolahnya hingga Pasca Sarjana, namun juga dalam kondisi yang sangat baik di pekerjaan maupun bisnis keluarga yang dikelolanya. “Saya merasa, ternyata ada yang menjaa saya. Kuliah bisa selesai tepat waktu, usaha membesar, dan banyak hal lainnya. Semua kemudahan itu, saya pikir justru tidak bisa saya dapatkan kalau kondisi saya normal-normal saja. Buat orang lain mungkin biasa saja, tapi bagi saya tidak. Ini Allah yang kasih,” ujarnya.

Semua kenyataan itu, ditambah dengan keyakinan pada ajaran agama yang memang memerintahkan agar setiap anak berbakti pada ibunya kian menguatkan Dhana untuk terus memegang komitmennya, mendahulukan kepentingan Ibu di atas semua urusan lainnya, termasuk memberi pengertian istri, kalau ada apa-apa antara Ibu dan istri, maka dia akan mendahulukan ibunya. “Saya sangat bersyukur diberikan pendamping seorang istri yang sangat mengerti dan memahami keadaan saya. Saya juga kadang-kadang bersenang-senang dan pergi ke mall, tapi pikiran terus terkoneksi dengan Ibu. Ketika sedang nonton, Ibu telepeon, saya bilang sedang di luar dan sebentar lagi pulang. Dan saya memang langsung pulang,” ucapnya.

Urusan Dunia pun Dipermudah

Soal bisnis, sudah biasa bagi Dhana untuk menjadwal ulang atau bahkan membatalkan pertemuan apapun, bila bersamaan dengan jadwal cuci darah ibunya. “Saya tidak peduli kehilangan kesempatan. Malah saya pikir itu lebih bagus. Daripada saya paksakan nanti malah kepikiran,” ujarnya.

Lagi-lagi kemudahan tak terduga juga kembali dirasakan Dhana ketika ia menunda sebuah pertemuan yang diprediksi akan mengalirkan keuntungan finansial dalam jumlah lumayan. Penundaan itu membuat rekan bisnisnya merasa heran dan mendesak ingin tahu penyebabnya. Dhana yang sebenarnya tidak gemar menceritakan kondisi keluarga akhirnya menjelaskan kalau hari itu dia harus mengantar ibunya cuci darah. Tak diduga, rekan bisnis itu malah sangat bersimpati dan hal itu mempermudah hubungan bisnis mereka karena dia merasa orang yang pedulidengan ibunya berarti juga orang yang bisa dipercaya.

Keseriusan Dhana menyesuaikan aktifitasnya dengan kondisi Ibu tidak berarti ia tidak smepat kemana-mana. Ke luar kota, bahkan ke lar negeri juga masih dilakukannya meski dengan berbagai persiapan ekstra. Jauh hari sebelum keberangkatan, ia berusaha maksimal agar kondisi Ibu dalam keadaan prima selama hari-hari kepergiaannya. “Kalau kondisi tidak bagus, saya tidak jadi pergi. Saya siapkan kandidat. tante saya datangkan seminggu sebelum berangkat. Saya training dulu. ketika ibu sudah merasa nyaman, baru saya tinggal,” turutnya.

Menampung Berak Ibunda dengan Kedua Tangan

Bagaimana supaya ibunya lebih nyaman, lebih bisa menikmati hidup, dan berkurang rasa sakitnya terus menjadi pusat pemikiran Dhana. Ketika ibunya tengah sakit keras dan harus buang hajat di pembaringan, Dhana tidak tega menggunakan pispot karena menurutnya benda itu terlalu keras dan nanti bisa menyakiti tulang ibunya. Sebagai gantinya, ia menengadahkan kedua tangannya dengan beralaskan tisu untuk menampungnya. “Saya biasa lihat kotoran Ibu. Dari baunya segala macam, saya bisa tahu apa makanan yang dimakannya. Warnanya kalau begini gimana, kalau ada darahnya berarti ambeien ibu sedang sedang kumat. Jadi, sekaligus memantau. Saya bilang ke pembantu, nggak apa-apa kamu jijik, itu memang bukan pekerjaan kamu, biar saya saja,” ujarnya.

Dhana menambahkan, selain agar ibunya nyaman, ia rela melakukan itu karena ia terpikir betapa dulu waktu masih kecil, ibunya juga sering melakukan hal serupa, bahkan mungkin lebih. “Ingatan dulu ibu juga melakukan ini sangat memotivasi saya. Ibu saya, melakukan lebih dibanding yang sekarang saya lakukan. kasih ibu itu luar biasa,” tuturnya.

Demi Kebahagiaan Ibunda

Ia juga mendukung sepenuhnya, dan menyediakan sarana maksimal, ketika Ibunya berniat kuliah di sebuah universitas islam untuk memperdalam agama. Bukan hanya menyediakan mobil dan sopir untuk antar jemput, namun  ia juga kerap menemani ibunya terutama bila kesehatannya sedang menurun, tapi sang ibu tetap ingin kuliah.

Ketika kondisinya kian menurun, dan kemudian Ibu yang terbiasa aktif fan enerjik itu tidak bisa berjalan lagi, Dhana menelepon teman-teman kuliah ibunya agar mereka memindahkan kuliah ke rumahnya. Sejak itu, tiap hari Senin, ibu dan teman-temannya mengadakan pengajian di kediaman keluarganya di bilangan Jatiwaringin, Jakarta Timur.

“Ketika akhirnya bisa berjalan, Ibu drop lagi. Saya bilang, Ibu cuma tidak bisa jalan. Tapi yang lain tidak sakit. Tapi memang perlu waktu. Ada tindakan lain juga. Saya lebih intens bersama ibu. Saya pulang cepat. Saya tanya mau makan apa. Kalau ibu ingin sesuatu, secepatnya saya usahakan terpenuhi. Itu akhirnya bisa menaikkan mental lagi,” ujarnya.

Dhana mengakui, boleh dibilang ia over protective terhadap ibundanya. Saking inginnya sang ibu tetap nyaman dalam perjalanan, ia memilih membawa ibunya dengan ambulans untuk pulang pergi cuci darah meski sesungguhnya masih bisa duduk. Lagi-lagi dengan harapan ibunya akan lebih nyaman dan berkurang rasa sakitnya.

Ia sendiri yang menggendong Ibu dari ambulans ke tempat tidur dan sebaliknya. Ia juga dengan teliti menyiapkan sprei dan bantal sendiri untuk ibunya selama berada di ruang cuci darah yang berlangsung sekitar lima jam. Selama wawancara dengan Tarbawi pun, berkali-kali sempat terputus karena Dhana sibuk menggaruk dan mengusap bagian mana pun dari tubuh ibunya yang gatal, yang karena dalam posisi berbaring agak susah dilakukan sendiri oleh Ibu Sundari. Semuanya ia lakukan dengan lembut dan wajah cerah.

Kesyukuran dan Kesabaran

Kini sudah tiga belas tahun Dhana mengarungi hari-hari yang sepenuhnya ia persembahkan untuk Ibunya. Ia mengungkapkan dari seluruh kejadian yang ia alami, satu-satunya yang membuatnya stress dan sedih adalah ketika menyaksikan ibunya kesakitan. “Saya tidak tega melihat ibu sakit. Kalau bisa saya gantikan sakitnya, saya akan gantikan,” ujarnya.

Dhana mengakui, ia selalu meyakinkan dirinya sendiri, bahwa kondisi ibunya tidak menurun, dan karena itu , ia berharap Tuhan belum akan memanggil ibunya. “Secara fisik ya, dulu bisa berjalan sekarang tidak. Saya punya keyakinan, itu hanya masalah tulang saja. Tapi oragn-organnya selain ginjal baik. Saya selalu minta cek keseluruhan sebulan sekali,” ucapnya.

Menghabiskan belasan tahun mengabdi pada Ibu bukan berarti Dhana telah puas membahagiakan perempuan yang melahirkannya itu. Ia merasa masih ada keinginan Ibu yang belum bisa dipenuhinya, yaitu mendapatkan cucu dari Dhana yang telah menikah namun belum dikaruniai momongan.

Di mata Dhana, Ibu yang kini kerap digendongnya untuk dipindahkan dari tempat tidur ke tempat tidur yang lain tetap sosok yang luar biasa yang dicintai sekaligus dikaguminya. ia selalu teringat, ketika ayahnya wafat, ibunya begitu tabah, bahkan sempat mencoba berbisnis serta melakukan berbagai hal untuk melindungi masa depan kedua putranya, sebelum akhirnya jatuh sakit.

Selain tegar dan penuh cinta kepada kedua putranya, Dhana juga mengagumi kataatan Ibunya menjalankan ibadah. Meski sambil berbaring, ibunya tidak pernah putus shalat, bahkan mampu membaca Al Quran setiap hari. “Ibu punya energi untuk melakukan ibadah yang saya tidak miliki. Itu yang saya kagumi karena saya belum memiliki ketaatan seperti yang dimiliki Ibu. Itu mempengaruhi saya untuk dekat sama Allah. Saya seperti ini karena doa beliau,” tuturnya.

Dhana yakin, ia menjadi seperti sekarang ini, dimudahkan dalam banyak urusan kerja maupun lainnya, semua berkat da dari ibunya. “Saya merasa doanya itu luar biasa melindungi saya. Ridha Ibu itu nomor satu. Meski dalam kondisi sakit, berkah dari ridha Ibu tidak berubah. Misalnya sama Ibu sedang tidak enak, tegang, saya tidak berangkat ke kantor atau meninggalkan Ibu sebelum masalah clear. Ibu harus tertawa dulu atau tenang. paling tidak sudah bisa memaafkan saya, baru bisa enak berangkat kerja,” tandasnya.

Namun ia mengakui, bertambahnya usia memang ada hal-hal yang dia lakukan untuk melindungi ibunya. Bila dulu semasa kecil atau remaja dia sering menceritakan segala kesulitan pada Ibu, kini dia memilih untuk menyeleksi ketika hendak menceritakan masalahnya. “Kalau saya sednag ada masalah, paling saya bilang, doain ya, Bu. Saya hanya cerita detail untuk hal yang menyenangkan,” turutnya.

Berulangkali Dhana menyatakan rasa syukur karena ketika ibunya jatuh sakit belasan tahun sailam, ia menetapkan prinsip untuk menempatkan Ibu sebagai prioritas dalam hidupnya. “Say bersyukur karena telah mengambil langkah yang tepat. Kalau saya pilih masa depan, masa depan belum tentu dapat dan saya kehilangan sesuatu yang harusnya saya lakukan. Saya bersyukur, sangat bersyukur dengan kondisi seperti ini. Orang lain mungkin bilang kasihan, tapi saya bersyukur,” ujarnya.

Bagi Dhana, berlelah-lelah, dalam suka dan duka merawat Ibu, akhirnya membuahkan banyak pelajaran tentang kehidupan. Kesabaran, penerimaan, semua itu begitu dalam maknanya bagi Dhana. kesabaran pula lah, salah satu pelajaran berharga yang diakuinya turut memperbaiki kualitas dunia batinnya yang membuat nya merasa telah menjalani hidup penuh arti. Perjalanan hidup yang tak sekadar mengikuti proses biologis, namun juga menjadi perjalanan menuju pemahaman hakikat hidup dan juga hakikat mati.

disalin dari Majalah Tarbawi Edisi 164 Th.8/Ramadhan 1428 H/21 September 2007 M

Share