Staf Teknis PPK (Pejabat Pembuat Komitmen) – Lowongan Kerja
January 8, 2015 by heldi
Filed under Pengadaan Barang Jasa, PNS (Pegawai Negeri Sipil)
Dibutuhkan Segera; Staff Teknis PPK untuk Kegiatan Event Organizer
Untuk Membantu Pejabat Pembuat Komitmen di LKPP dalam penyelemnggaraan Event Organizer, dengan persyaratan dan kualifikasi sebagai berikut:
Kualifikasi:
1. Pria/ Wanita
2. Usia Min. 20 Tahun Maks. 35 Tahun
3. Fresh Graduate/ Pengalaman Min. 1 Tahun (Diutamakan)
4. Min. D3 Segala Jurusan Universitas Akreditasi Min. B
5. IPK. Min. 2.75
6. Menguasai Ms. Office dan Internet
7. lebih disukai berpengalaman dalam bidang event organizer/pelatihan
8. Memiliki integritas dan motivasi kerja yang tinggi
9. Memiliki keinginan untuk mengembangkan diri
10. Mampu berkomunikasi dengan baik (High Communication Skill)
11. Mampu bekerja mandiri maupun dalam tim
12. Mampu bekerja sesuai dengan target
12. Tidak pernah terlibat Narkoba dan pelanggaran hukum lainnya
Read more
Pasal 12 – PPK
August 25, 2014 by heldi
Filed under Belajar Perpres 54 tahun 2010
Pasal 12
(1) PPK merupakan Pejabat yang ditetapkan oleh PA/KPA untuk melaksanakan Pengadaan Barang/Jasa.
(2) Untuk ditetapkan sebagai PPK harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. memiliki integritas;
b. memiliki disiplin tinggi;
c. memiliki tanggung jawab dan kualifikasi teknis serta manajerial untuk melaksanakan tugas;
d. mampu mengambil keputusan, bertindak tegas dan memiliki keteladanan dalam sikap perilaku serta tidak pernah terlibat KKN;
e. menandatangani Pakta Integritas;
f. tidak menjabat sebagai Pejabat Penanda Tangan Surat Perintah Membayar (PPSPM) atau Bendahara ; dan
g. memiliki Sertifikat Keahlian Pengadaan Barang/ Jasa.
(2a) Persyaratan tidak menjabat sebagai PPSPM sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf f, dikecualikan untuk PA/KPA yang bertindak sebagai PPK .
(2b) Dalam hal tidak ada personil yang memenuhi persyaratan untuk ditunjuk sebagai PPK, persyaratan pada ayat (2) huruf g dikecualikan untuk:
a. PPK yang dijabat oleh pejabat eselon I dan II di K/L/D/I; dan/atau
b. PA/KPA yang bertindak sebagai PPK .
(3) Persyaratan manajerial sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c adalah:
a. berpendidikan paling kurang Sarjana Strata Satu (S1) dengan bidang keahlian yang sedapat mungkin sesuai dengan tuntutan pekerjaan;
b. memiliki pengalaman paling kurang 2 (dua) tahun terlibat secara aktif dalam kegiatan yang berkaitan dengan Pengadaan Barang/Jasa; dan
c. memiliki kemampuan kerja secara berkelompok dalam melaksanakan setiap tugas/pekerjaannya.
(4) Dalam hal jumlah Pegawai Negeri yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a terbatas, persyaratan pada ayat (3) huruf a dapat diganti dengan paling kurang golongan IIIa atau disetarakan dengan golongan IIIa
Pasal 11 – Pejabat Pembuat Komitmen
August 25, 2014 by heldi
Filed under Belajar Perpres 54 tahun 2010
Bagian Keempat – Pejabat Pembuat Komitmen
Pasal 11
(1) PPK memiliki tugas pokok dan kewenangan sebagai berikut:
a. menetapkan rencana pelaksanaan Pengadaan Barang/ Jasa yang meliputi:
1) spesifikasi teknis Barang/Jasa;
2) Harga Perkiraan Sendiri (HPS); dan
3) rancangan Kontrak.
b. menerbitkan Surat Penunjukan Penyedia Barang/ Jasa;
c. menyetujui bukti pembelian atau menandatangani Kuitansi/Surat Perintah Kerja (SPK)/surat perjanjian ;
d. melaksanakan Kontrak dengan Penyedia Barang/ Jasa;
e. mengendalikan pelaksanaan Kontrak;
f. melaporkan pelaksanaan/penyelesaian Pengadaan Barang/Jasa kepada PA/KPA;
g. menyerahkan hasil pekerjaan Pengadaan Barang/Jasa kepada PA/KPA dengan Berita Acara Penyerahan;
h. melaporkan kemajuan pekerjaan termasuk penyerapan anggaran dan hambatan pelaksanaan pekerjaan kepada PA/KPA setiap triwulan; dan
i. menyimpan dan menjaga keutuhan seluruh dokumen pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa.
(2) Selain tugas pokok dan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dalam hal diperlukan, PPK dapat:
a. mengusulkan kepada PA/KPA:
1) perubahan paket pekerjaan; dan/atau
2) perubahan jadwal kegiatan pengadaan;
b. menetapkan tim pendukung;
c. menetapkan tim atau tenaga ahli pemberi penjelasan teknis untuk membantu pelaksanaan tugas ULP; dan
d. menetapkan besaran Uang Muka yang akan dibayarkan kepada Penyedia Barang/Jasa.
Penjelasan Pasal 11
Ayat (1)
Huruf a Angka 1 – Dalam menetapkan spesifikasi teknis tersebut, PPK memperhatikan spesifikasi teknis dalam Rencana Umum Pengadaan dan masukan/rekomendasi dari pengguna/ penerima akhir.
Huruf c – Pada tingkat SKPD, PPK menyetujui bukti pembelian atau/ Kontrak/Surat Perintah Kerja (SPK) berdasarkan pendelegasian wewenang dari PA/KPA.
Ayat (2)
Huruf a Angka 1 – Dalam melakukan pengkajian ulang paket pekerjaan dapat terjadi perubahan total nilai paket pekerjaan maupun Harga Satuan.
Huruf b – Tugas pokok dan kewenangan serta persyaratan tim pendukung ditetapkan oleh PPK.
Huruf c – Yang dimaksud dengan tim atau tenaga ahli pemberi penjelasan teknis adalah tim atau tenaga ahli yang mempunyai kemampuan untuk memberikan masukan dan penjelasan teknis tentang spesifikasi Barang/Jasa pada rapat penjelasan.
Kedudukan PA, KPA, PPK, Pejabat Pengadaan, dan PPTK dalam Pengadaan Barang/Jasa
May 17, 2012 by heldi
Filed under Berita dan Artikel Pengadaan
Ada yang bertanya tentang bagaimana peranan PPTK (Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan) dalam Pengadaan Barang Jasa Pemerintah dihubungkan dengan PPK (Pejabat Pembuat Komitmen); yang terjadi adalah ketika pemeriksaan yang menjadi ujung tombak terdepan adalah PPTK, PPTK seolah-olah harus mempertanggungjawabkan keseluruhan proses kegiatan, sedangkan PPK nya tenang-tenang saja santai di warung kopi… begitu katanya… Apakah demikian? berikut adalah tulisan dari Bapak Denny Yapari dari web nya di hukum kompasiana.com, mudah-mudahan dapat memperjelas posisi PPTK dimana sehingga dalam pertanggungwabannya dapat disesuaikan sebatas wewenang dan kewajibannya.
Oleh: Denny Yapari
http://hukum.kompasiana.com/2012/01/25/kedudukan-pa-kpa-ppk-pejabat-pengadaan-dan-pptk-dalam-pengadaan-barangjasa/
A. PERMASALAHAN
Kedudukan Pengguna Anggaran (PA), Kuasa Pengguna Anggaran (KPA), Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), Pejabat Pengadaan dan Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK) dalam pengadaan barang/jasa di daerah ternyata masih menjadi persoalan besar dan pelik di kalangan aparatur daerah. Bagaimana kriteria dan persyaratan dalam mengangkat pejabat yang bertanggung jawab dan melaksanakan pengadaan barang/jasa berdasarkan Perpres Nomor 54 tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah sekaligus juga melaksanakan pengelolaan keuangan daerah sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 58 tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah masih menjadi persoalan.
Adanya PPTK dalam PP Nomor 58 tahun 2005 yang mempunyai fungsi dan kedudukan yang hampir sama dengan PPK dalam Perpres Nomor 54 Tahun 2010 masih menimbulkan pertanyaan tentang kedudukan PPTK yang melaksanakan pengadaan barang/jasa. Demikian pula dengan penetapan PPK dan Pejabat Pengadaan yang disyaratkan mempunyai sertifikat keahlian pengadaan barang/jasa dikaitkan dengan PNS yang memegang jabatan karier, sehingga bisa saja terjadi konflik internal antar aparatur sebagai akibat adanya pejabat yang secara karier lebih tinggi pangkatnya namun dalam pengadaan barang/jasa tidak bisa bertindak sebagai PPK.
Isu hukum yang muncul dalam permasalahan ini adalah bagaimana kedudukan PA/KPA, PPK, Pejabat Pengadaan dan PPTK dalam pengadaan barang/jasa terkait dengan pengelolaan keuangan daerah.
B. SUMBER HUKUM
1. Undang-Undang nomor 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara yang mengatur kewenangan Pengguna Anggaran dan Kuasa Pengguna Anggaran.
2. Peraturan Pemerintah nomor 58 tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah yang mengatur kewenangan PA/KPA dan PPTK dalam pengelolaan Keuangan Daerah
3. Peraturan Presiden nomor 54 tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah yang mengatur kewenangan PA/KPA, PPK dan Pejabat Pengadaan dalam pengadaan barang/jasa Pemerintah
C. ISU HUKUM
1. Perlunya penegasan siapa yang dapat menjadi PA dan KPA dalam pengadaan barang/jasa sebagaimana yang diatur dalam PP 58 tahun 2005 dan Perpres 54 tahun 2010
2. Bagaimana kedudukan PPTK dalam pengadaan barang/jasa terkait dengan kewenangannya dalam PP 58 tahun 2005
3. Perlunya penegasan siapa yang dapat menjadi PPK dan Pejabat Pengadaan berdasarkan Perpres 54 tahun 2010 terkait dengan PNS sebagai jabatan karir.
D. ANALISIS
1. a. Kedudukan PA dalam Pengadaan Barang/Jasa
Pasal 1 Angka 5 Perpres No. 54 Tahun 2010 mendefinisikan Pengguna Anggaran (PA) sebagai Pejabat pemegang kewenangan penggunaan anggaran Kementerian/Lembaga/Satuan Kerja Perangkat Daerah atau Pejabat yang disamakan pada Institusi lain Pengguna APBN/APBD. Definisi ini mengacu pada definisi PA dalam dalam Pasal 1 angka 12 UU No. 1 Tahun 2004, karena dalam konsiderans Perpres menyebutkan UU No. 1 Tahun 2004.
Mengenai siapa yang dapat menjadi PA dalam Perpres tersebut tidak disebutkan, sehingga untuk menentukan siapa saja yang dapat menjadi PA adalah dengan melihat aturan pada UU No. 1 Tahun 2004, dimana yang dapat menjadi PA adalah :
a. Menteri/pimpinan lembaga adalah Pengguna Anggaran/Pengguna Barang bagi kementerian negara/lembaga yang dipimpinnya berdasarkan pasal 4 ayat (1);
b. Gubernur, bupati / walikota selaku Kepala Pemerintah Daerah berdasarkan pasal 5 ayat (1); (catatan heldi.net : ada yang keberatan dengan pasal ini, coba nanti kita analisa lagi ya…)
c. Kepala SKPD bagi SKPD yang dipimpinnya berdasarkan pasal 6 ayat (1).
Mengenai kewenangan dari PA dalam pengadaan barang/jasa telah cukup jelas di dalam Perpres No. 54 Tahun 2010.
1.b. Kedudukan KPA dalam Pengadaan Barang/Jasa
Pasal 1 Angka 6 Perpres No. 54 Tahun 2010 mendefinisikan Kuasa Pengguna Anggaran sebagai pejabat yang ditetapkan oleh PA untuk menggunakan APBN atau ditetapkan oleh Kepala Daerah untuk menggunakan APBD. Sebagaimana definisi PA, definisi KPA tersebut mengacu pada definisi KPA dalam pasal 1 angka 18 UU No. 1 Tahun 2004.
Mengenai siapa yang dapat menjadi KPA tidak diatur, mengingat bahwa definisi KPA adalah pemegang kuasa dari Pengguna Anggaran, karena penetapannya berupa pelimpahan wewenang dengan memberi kuasa maka siapa saja dapat ditetapkan oleh PA sebagai KPA dengan pertimbangan tertentu. Pemilihan siapa yang akan ditetapkan sebagai KPA pada dasarnya wewenang dari PA, namun demikian dari hasil analisis penulis, khusus untuk Kepala Unit Kerja pada SKPD yang akan ditetapkan sebagai KPA oleh Kepala Daerah harus diusulkan oleh Pengguna Anggaran (dalam hal ini adalah Kepala SKPD) berdasarkan pasal 11 ayat (2) PP No. 58 Tahun 2005 dan penjelasan pasal 5 UU No. 1 Tahun 2004.
Kedudukan KPA harus dilihat sebagai aparatur yang menjalankan kuasa, sehingga kewenangan KPA terbatas berdasarkan khusus pada pelimpahan kewenangan yang diberikan, dengan demikian ketika KPA ditetapkan dalam pengadaan barang/jasa maka kewenangannya pun sesuai dengan kewenangan PA sebagaimana yang diatur dalam Perpres No. 54 Tahun 2010. Disamping itu juga KPA bukanlah jabatan, baik secara struktural maupun fungsional, sehingga pertimbangan dalam pemilihan aparatur yang ditetapkan sebagai KPA tidak terikat apakah KPA harus pejabat struktural ataupun pejabat fungsional. Pertimbangan yang baik dapat berdasarkan pada tingkatan daerah, besaran SKPD, besaran jumlah uang yang dikelola, beban kerja, lokasi, kompetensi dan/atau rentang kendali dan pertimbangan objektif lainnya sebagaimana disebutkan dalam pasal 11 ayat (3) PP No. 58 Tahun 2005.
2. Kedudukan PPTK dalam Pengadaan Barang/Jasa
Pasal 1 Angka 16 PP No. 58 Tahun 2005 menyatakan bahwa Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan yang selanjutnya disingkat PPTK adalah pejabat pada unit kerja SKPD yang melaksanakan satu atau beberapa kegiatan dari suatu program sesuai dengan bidang tugasnya. Berdasarkan pasal 12 ayat (1) PP No. 58 Tahun 2005, PA/KPA menunjuk pejabat pada unit kerja SKPD selaku PPTK untuk melaksanakan program dan kegiatan, dengan tugas mencakup (pasal 12 ayat 2):
- mengendalikan pelaksanaan kegiatan;
- melaporkan perkembangan pelaksanaan kegiatan;
- menyiapkan dokumen anggaran atas beban pengeluaran pelaksanaan kegiatan.
Dengan demikian PPTK bertanggung jawab kepada pejabat PA/KPA (pasal 13 ayat 2). Pemilihan PPTK berdasarkan pada pertimbangan kompetensi jabatan, anggaran kegiatan, beban kerja, lokasi, dan/atau rentang kendali dan pertimbangan objektif lainnya (Pasal 13 ayat 1). Berdasarkan uraian diatas, PPTK merupakan pelaksana sekaligus penanggung jawab kegiatan di unit kerja SKPD.
Pengadaan barang/jasa adalah salah satu kegiatan di Kementerian/Lembaga/SKPD/Instansi sehingga berdasarkan ketentuan ini PPTK berwenang untuk melaksanakan kegiatan pengadaan barang/jasa. Namun demikian dengan adanya Perpres No. 54 Tahun 2010, maka ketentuan yang mengatur tentang pengadaan barang/jasa menjadi khusus berdasarkan asas preferensi hukum “Lex Specialis Derogat Legi Generali” yang berarti bilamana terdapat 2 (dua) peraturan/ketentuan yang sederajat (sejajar) dalam hierarki perundang-undangan dan mengatur hal yang sama, dimana yang satu lebih bersifat khusus dan yang lain bersifat umum, maka ketentuan yang lebih bersifat khusus yang diberlakukan[1].
Perpres No. 54 Tahun 2010 mengatur bahwa penanggung jawab dalam kegiatan pengadaan barang/jasa adalah Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), sedangkan pelaksananya dilakukan oleh Unit Layanan Pengadaan / Pejabat Pengadaan, tidak ada kewenangan yang diatur dan diberikan kepada PPTK dalam pengadaan barang/jasa. Kedudukan PPTK dijelaskan dalam Penjelasan Pasal 7 ayat (3) Perpres No. 54 Tahun 2010 yaitu sebagai tim pendukung yang dibentuk oleh PPK untuk membantu pelaksanaan barang/jasa. Jadi jelas PPTK yang berada dalam Kementrian/Lembaga/SKPD/Instansi tidak mempunyai kewenangan dalam pengadaan barang/jasa.
Bagaimana dengan PPTK yang merangkap sebagai PPK? Karena tidak ada larangan maka hal tersebut diperbolehkan, dengan syarat bahwa dalam kapasitas sebagai PPK, aparatur tersebut harus memenuhi persyaratan sebagai seorang PPK. Tidak dapat dikatakan bahwa seorang PPTK karena mempunyai kewenangan sebagai pelaksana dan penanggung jawab di SKPD maka dapat menjabat sebagai PPK walaupun kriteria aparatur tersebut tidak memenuhi persyaratan yang dibutuhkan sebagai seorang PPK.
3. Kedudukan PPK dan Pejabat Pengadaan dalam Pengadaan Barang/Jasa
Pasal 1 Angka 7 Perpres No. 54 Tahun 2010 menyatakan bahwa Pejabat Pembuat Komitmen yang selanjutnya disebut PPK adalah pejabat yang bertanggung jawab atas pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa. Pasal 1 Angka 9 Perpres No. 54 Tahun 2010 menyatakan bahwa Pejabat Pengadaan adalah personil yang memiliki Sertifikat Keahlian Pengadaan Barang/Jasa yang melaksanakan Pengadaan Barang/Jasa. Dari definisi tersebut jelas bahwa dalam pengadaan barang/jas PPK adalah pejabat yang bertanggung jawab atas pelaksanaan dan pejabat pengadaan adalah pejabat yang melaksanakan, kedudukan Pejabat Pengadaan secara fungsi sama dengan ULP.
PPK dan Pejabat Pengadaan ditetapkan oleh PA/KPA sebagaimana disebutkan dalam pasal 8 ayat (1) Perpres No. 54 Tahun 2010. Penetapan PPK dilakukan berdasarkan persyaratan sebagaimana dinyatakan dalam pasal 12 ayat (2) dan ayat (3), yaitu :
- memiliki integritas;
- memiliki disiplin tinggi;
- memiliki tanggung jawab dan kualifikasi teknis serta manajerial untuk melaksanakan tugas;
- mampu mengambil keputusan, bertindak tegas dan memiliki keteladanan dalam sikap perilaku serta tidak pernah terlibat KKN;
- menandatangani Pakta Integritas;
- tidak menjabat sebagai pengelola keuangan (dalam penjelasan disebutkan yang dimaksud pengelola keuangan disini yaitu bendahara/verifikator/Pejabat Penandatangan Surat Perintah Membayar); dan
- memiliki Sertifikat Keahlian Pengadaan Barang/Jasa.
- berpendidikan paling kurang Sarjana Strata Satu (S1) dengan bidang keahlian yang sedapat mungkin sesuai dengan tuntutan pekerjaan;
- memiliki pengalaman paling kurang 2 (dua) tahun terlibat secara aktif dalam kegiatan yang berkaitan dengan Pengadaan Barang/Jasa; dan
- memiliki kemampuan kerja secara berkelompok dalam melaksanakan setiap tugas/pekerjaannya.
- Khusus untuk PPK di daerah berdasarkan pasal 127 huruf c yang mengatur ketentuan masa transisi menentukan bahwa terhitung sejak 1 Januari 2012 wajib memiliki sertifikat keahlian pengadaan barang/jasa
Persyaratan untuk ditetapkan sebagai Pejabat Pengadaan adalah berdasarkan pasal 17 ayat (1), yaitu :
- memiliki integritas, disiplin dan tanggung jawab dalam melaksanakan tugas;
- memahami pekerjaan yang akan diadakan;
- memahami jenis pekerjaan tertentu yang menjadi tugas ULP/Pejabat Pengadaan yang bersangkutan;
- memahami isi dokumen, metode dan prosedur Pengadaan;
- tidak mempunyai hubungan keluarga dengan Pejabat yang menetapkannya sebagai anggota ULP/Pejabat Pengadaan;
- memiliki Sertifikat Keahlian Pengadaan Barang/Jasa sesuai dengan kompetensi yang dipersyaratkan; dan
- menandatangani Pakta Integritas.
Berdasarkan aturan persyaratan tersebut jelas bahwa baik PPK maupun Pejabat Pengadaan bukanlah jabatan karir (struktural maupun fungsional), keduanya merupakan jabatan khusus yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan untuk kepentingan khusus, dalam hal ini untuk kepentingan pengadaan barang/jasa di Pemerintahan. Tidak ada persyaratan lain yang diatur ataupun ruang yang diberikan untuk persyaratan tambahan bagi PPK ataupun Pejabat pengadaan karena tujuan adanya persyaratan tersebut bukan mencari aparatur daerah yang sudah senior atau mencari aparat daerah yang pangkatnya tinggi atau golongannya yang tinggi serta bukan pula bertujuan jabatan tersebut disesuaikan dengan jenjang kepangkatan yang ada. Sebagaimana tersirat dalam Penjelasan Perpres No. 54 Tahun 2010, aparatur yang terlibat dalam pengadaan barang/jasa dituntut merupakan seorang yang profesional dan tidak berpihak (independen) agar dapat menjamin terjadinya interaksi ekonomi dan sosial antara para pihak terkait (stakeholders) secara adil, transparan, profesional, dan akuntabel. Hasil akhirnya adalah penggunaan keuangan negara yang dibelanjakan melalui proses Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah harus efisiensi dan efektif, dengan demikian diperoleh barang/jasa yang terjangkau dan berkualitas serta dapat dipertanggung-jawabkan baik dari segi fisik, keuangan, maupun manfaatnya bagi kelancaran tugas Pemerintah dan pelayanan masyarakat.
Kedudukan PNS yang memegang jabatan karir secara struktural dan fungsional adalah dalam rangka menyelenggarakan pemerintahan secara umum sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang PNS. Dengan demikian ketika aparatur di daerah menjabat sebagai PPK ataupun Pejabat Pengadaan walaupun kewenangan yang diberikan Perpres cukup besar namun terbatas hanya dalam pengadaan barang/jasa, diluar kepentingan tersebut aparatur tersebut tetaplah sebagai PNS yang memegang jabatan karirnya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
E. KESIMPULAN
Pengguna Anggaran dalam Pengadaan Barang/Jasa adalah :
a. Menteri/pimpinan lembaga bagi kementerian negara/lembaga yang dipimpinnya;
b. Gubernur, bupati / walikota selaku Kepala Pemerintah Daerah; (catatan heldi.net : ada yang keberatan dengan pasal ini, coba nanti kita analisa lagi ya…)
c. Kepala SKPD bagi SKPD yang dipimpinnya.
Kuasa Pengguna Anggaran dalam Pengadaan Barang/Jasa adalah pemegang kuasa Pengguna Anggaran yang memiliki kewenangan berdasarkan kepada pelimpahan wewenang yang diberikan dalam kuasa. Kewenangan KPA dalam pengadaan barang/jasa sama dengan kewenangan PA sebagaimana yang diatur dalam Perpres No. 54 Tahun 2010.
Perpres No. 54 Tahun 2010 tidak memberikan kewenangan kepada PPTK yang berada dalam Kementrian/Lembaga/SKPD/Instansi dalam pengadaan barang/jasa. PPTK dapat bertindak sebagai tim pendukung yang dibentuk oleh PPK.
PPK maupun Pejabat Pengadaan bukanlah jabatan karir (struktural maupun fungsional), keduanya merupakan jabatan khusus yang diberikan oleh Peraturan Presiden No. 54 Tahun 2010 untuk kepentingan pengadaan barang/jasa di Pemerintahan. Aparatur yang menjabat sebagai PPK ataupun Pejabat Pengadaan walaupun mempunyai kewenangan yang cukup besar berdasarkan Perpres No. 54 Tahun 2010 namun kewenangan tersebut terbatas hanya dalam pengadaan barang/jasa, diluar kepentingan tersebut aparatur tersebut tetaplah sebagai PNS yang memegang jabatan karirnya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Tidak ada PPK maka KPA tidak perlu bersertifikat
February 11, 2012 by heldi
Filed under Berita dan Artikel Pengadaan
Sumber : Ikak. G.P (http://ikakgp.blogspot.com/)
Apakah KPA yang tetap memegang kewenangan PPK harus bersertifikat ahli pengadaan? Jawabnya tidak perlu.
Kalau kita baca Pasal 6 UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, kepala satuan kerja perangkat daerah dalam melaksanakan tugasnya selaku pejabat Pengguna Anggaran/ Pengguna Barang berwenang melakukan tindakan yang mengakibatkan pengeluaran atas beban anggaran belanja.
Pasal 5 dan penjelasannya mengatur bahwa Gubernur/bupati/ walikota selaku Kepala Pemerintahan Daerah menetapkan KPA, berdasarkan usulan PA yang bersangkutan. Lebih lanjut, PA pada Pemerintah Daerah bertanggung jawab secara formal dan material kepada gubernur/bupati/walikota atas pelaksanaan kebijakan anggaran yang berada dalam penguasaannya (Pasal 54 ayat (1)). Selanjutnya, KPA juga bertanggung jawab secara formal dan material kepada Pengguna Anggaran atas pelaksanaan kegiatan yang berada dalam penguasaannya (Pasal 54 ayat (2);
Berikutnya, Pasal 17 ayat (2) Untuk keperluan pelaksanaan kegiatan sebagaimana tersebut dalam dokumen pelaksanaan anggaran, PA/KPA berwenang mengadakan ikatan/perjanjian dengan pihak lain dalam batas anggaran yang telah ditetapkan (dijelaskan pula dengan PP Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah Pasal 10 huruf g. bahwa pejabat pengguna anggaran/ pengguna barang daerah mempunyai tugas dan wewenang antara lain mengadakan ikatan/perjanjian kerjasama dengan pihak lain dalam batas anggaran yang telah ditetapkan).
Dalam pengadaan, berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 Pasal 8 ayat (1) huruf c mengatur bahwa PA memiliki tugas dan kewenangan menetapkan Pejabat Pembuat komitmen (PPK).
Pasal 12 ayat (1) mengatur bahwa PPK merupakan pejabat yang ditetapkan oleh PA/KPA untuk melaksanakan Pengadaan Barang/Jasa, dan untuk ditetapkan sebagai PPK, seseorang harus memenuhi persyaratan diantaranya adalah memiliki Sertifikat Keahlian Pengadaan Barang/Jasa (Pasal 12 ayat (2) g.).
Dengan demikian, PA/KPA wajib menetapkan PPK dan apabila tidak ada personil yang memenuhi syarat untuk ditetapkan sebagai PPK, maka PA/KPA harus melakukan sendiri tindakan yang mengakibatkan pengeluaran atas beban anggaran belanja dan fungsi-fungsi lain dari membuat komitmen yang berdasarkan Perpres 54/2010 sudah menjadi tugas PPK;
Dalam hal seperti ini, PA/KPA yang melakukan sendiri tindakan yang mengakibatkan pengeluaran atas beban anggaran belanja dan fungsi-fungsi lain dari membuat komitmen atau “merangkap” sebagai PPK tidak wajib bersertifikat;
Dalam hal APBD, PA pada Pemerintah Daerah bertanggung jawab secara formal dan material kepada Gubernur/Bupati/Walikota atas pelaksanaan kebijakan anggaran yang berada dalam penguasaannya, maka dalam hal terdapat keterbatasan aparatur yang memiliki sertifikat Pengadaan Barang/Jasa maka PA dapat mengusulkan kepada Gubernur/Bupati/Walikota seorang KPA untuk bertindak tetap menjalankan fungsi PPK. Hal ini terutama jika KPA dimaksud berada 1 (satu) jenjang struktur di bawahnya.
Dalam hal APBN, KPA bertanggung jawab kepada PA (UU Nomor 1 Tahun 2004 pasal 4 ayat (2) huruf b dan 54 ayat (2)), maka KPA tidak wajib bersertifikat walaupun KPA tsb melakukan sendiri fungsi membuat komitmen,.
Namun demikian PA/KPA yang merangkap sebagai PPK “dapat dianggap” tidak melaksanakan tugasnya untuk menetapkan PPK atau melanggar ketentuan Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 Pasal 8 ayat (1) huruf c.
Tentang Ikak G.P.
Ikak G. Patriastomo
mempromosikan dan merintis penerapan e-procurement di Indonesia sejak dalam rangka pengembangan e-procurement nasional pada Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (http://www.lkpp.go.id). Mulai berkarir di Bappenas sejak 1994 menggeluti pengelolaan pinjaman luar negeri dan pengembangan kebijakan good governance. Sejak tahun 2000, mulai mendalami pengadaan barang/jasa dan pengembangan kebijakan pengadaan serta menyusun Keppres 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Pernah aktif di Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi Nasional (LPJKN) sebagai wakil dari unsur Pemerintah sampai tahun 2011. Tahun 2008 ikut mendirikan Ikatan Ahli Pengadaan Indonesia (IAPI), suatu organisasi profesi di bidang pengadaan dan sejak tahun 2010 menjabat Ketua.
http://ikakgp.blogspot.com/
PPK tidak sekedar tandatangan Kontrak
February 6, 2012 by heldi
Filed under Berita dan Artikel Pengadaan
PPK tidak sekedar tandatangan Kontrak
Khalid Mustafa
http://www.khalidmustafa.info/
Awal tahun 2012 beberapa orang datang langsung berdiskusi atau bertanya melalui telepon tentang Pengadaan Barng/Jasa khususnya mengenai pelaksanaan kontrak.
Sebagian isi diskusi adalah menanyakan pekerjaan yang dilaksanakan akhir tahun 2011 namun hingga tahun 2012 masih belum selesai. Ada yang bertanya bagaimana cara pemutusan kontrak, ada yang bertanya kok bisa terjadi padahal penawaran penyedia barang/jasa pada saat pelelangan bagus-bagus, ada juga yang bingung bagaimana membayarnya padahal batas akhir pembayaran hanya sampai 31 Desember.
Setelah diteliti lebih dalam, sebagian besar terjadi karena ketidaktahuan dan kurangnya kompetensi Pejabat Pembuat Komitmen (PPK).
Penyebabnya, sebagian besar menjadi PPK bukan karena memang pantas menjadi PPK, melainkan karena menduduki jabatan eselon tertentu.
Sayangnya, banyak yang lupa, bahwa tanggung jawab PPK di Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 54 Tahun 2010 amat berat.
Berdasarkan Pasal 11 Perpres Nomor 54 Tahun 2010, tugas pokok dan kewenangan PPK adalah:
PPK memiliki tugas pokok dan kewenangan sebagai berikut:
menetapkan rencana pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa yang meliputi:
spesifikasi teknis Barang/Jasa;
Harga Perkiraan Sendiri (HPS); dan
rancangan Kontrak.
menerbitkan Surat Penunjukan Penyedia Barang/Jasa;
menandatangani Kontrak;
melaksanakan Kontrak dengan Penyedia Barang/Jasa;
mengendalikan pelaksanaan Kontrak;
melaporkan pelaksanaan/penyelesaian Pengadaan Barang/Jasa kepada PA/KPA;
menyerahkan hasil pekerjaan Pengadaan Barang/Jasa kepada PA/KPA dengan Berita Acara Penyerahan;
melaporkan kemajuan pekerjaan termasuk penyerapan anggaran dan hambatan pelaksanaan pekerjaan kepada PA/KPA setiap triwulan; dan
menyimpan dan menjaga keutuhan seluruh dokumen pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa.
Selain tugas pokok dan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dalam hal diperlukan, PPK dapat:
mengusulkan kepada PA/KPA:
perubahan paket pekerjaan; dan/atau
perubahan jadwal kegiatan pengadaan;
menetapkan tim pendukung;
menetapkan tim atau tenaga ahli pemberi penjelasan teknis (aanwijzer) untuk membantu pelaksanaan tugas ULP; dan
menetapkan besaran Uang Muka yang akan dibayarkan kepada Penyedia Barang/Jasa.
Mari kita lihat satu persatu sebagian tugas pokok dan kewenangan tersebut serta apa saja yang harus diperhatikan.
Menetapkan Rencana Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa
PPK tidak bekerja pada akhir pengadaan. PPK sudah mulai bekerja sejak perencanaan pengadaan. Hal ini karena PPK adalah orang yang paling mengetahui tentang barang/jasa yang akan diadakan.
Oleh sebab itu, apabila terjadi kesalahan pada proses pengadaan barang/jasa yang disebabkan karena kesalahan perencanaan, maka PPK juga bertanggung jawab terhadap hal tersebut.
Tanggung jawab PPK pada tahap perencanaan adalah:
Spesifikasi Teknis Barang/Jasa
Ini adalah hal yang krusial, karena spesifikasi merupakan dasar dalam proses pengadaan barang/jasa. Setiap penawaran dari penyedia barang/jasa harus memenuhi spesifikasi teknis yang telah ditentukan dalam dokumen pengadaan.
Yang menjadi permasalahan adalah, luasnya ruang lingkup pengadaan barang/jasa dan dibandingkan dengan ruang lingkup pengetahuan PPK. Seorang PPK harus memahami spesifikasi teknis pengadaan barang, pekerjaan konstruksi, jasa konsultansi, dan jasa lainnya. Seorang PPK tidak bisa berlindung dibalik tim teknis atau tim pendukung yang menyiapkan spesifikasi teknis. Seorang PPK tidak bisa berlindung dibalik konsultan perencana dalam pelaksanaan pekerjaan konstruksi.
Walaupun sebagian kegiatan perencanaan memang harus diserahkan kepada ahlinya, namun pokok pokiran serta inti dari spesifikasi tetap harus dipahami oleh PPK.
PPK tidak boleh berucap “saya lulusan sosial, jadi tidak paham bangunan.” Apabila ditemukan kesalahan perencanaan konstruksi, maka oleh penyidik atau pemeriksa tetap akan diminta pertanggungjawabannya.
Disini dituntut keluasan pengetahuan dan pengalaman dari seorang PPK.
Harga Perkiraan Sendiri (HPS)
Kasus yang paling banyak menimpa pelaksanaan pengadaan barang/jasa adalah kasus markup dan salah satu penyebabnya terletak pada penyusunan HPS.
Menyusun HPS membutuhkan keahlian tersendiri, selain harus memahami karakteristik spesifikasi barang/jasa yang akan diadakan, juga harus mengetahui sumber dari barang/jasa tersebut. Harga barang pabrikan tentu saja berbeda dengan harga distributor apalagi harga pasar. Juga perhitungan harga semen serta batu kali dan besi beton akan mempengaruhi total harga secara keseluruhan.
Yang paling sering terjadi, entah karena kesengajaan atau karena ketidaktahuan, PPK menyerahkan perhitungan HPS kepada penyedia barang/jasa atau malah kepada broker bin makelar yang melipatgandakan harga tersebut untuk memperoleh keuntungan pribadi atau kelompok.
PPK langsung mengambil harga tersebut tanpa melakukan cek and recheck lagi. Akibatnya pada saat pengadaan selesai dan dilakukan pemeriksanaan oleh aparat hukum, ditemukan mark up harga dan mengakibatkan kerugian negara.
Lagi-lagi karena ketidaktahuan dan keinginan kerja cepat dan tidak teliti menjerumuskan PPK ke ranah hukum.
Rancangan kontrak.
Kontrak merupakan ikatan utama antara penyedia dengan PPK. Draft kontrak seyogyanya berisi hal-hal yang harus diperhatikan oleh penyedia sebelum memasukkan penawaran. Karena dari draft kontrak inilah akan ketahuan ruang lingkup pekerjaan, tahapan, hal-hal yang harus diperhatikan sebelum memulai pekerjaan, bagaimana proses pemeriksaan dan serah terima, serta hal-hal lain yang dapat mempengaruhi nilai penawaran penyedia.
Draft kontrak bukan sekedar lembaran-lembaran kertas. Ada beberapa jenis kontrak yang harus diketahui dan dipahami oleh PPK. Apa dan kapan harus menggunakan kontrak lumpsum, kontrak harga satuan, gabungan lumpsum dan harga satuan, kontrak persentase, kontrak terima jadi, kontrak tahun tunggal, kontrak tahun jamak, kontrak pengadaan tunggal, kontrak pengadaan bersama, kontrak payung (framework contract), kontrak pengadaan pekerjaan tunggal, dan kontrak pengadaan pekerjaan terintegrasi.
Itu baru dari sisi jenis kontraknya. Belum membahas mengenai syarat-syarat umum dan syarat-syarat khusus kontrak. Perlakuan terhadap pekerjaan yang bersifat kritis juga harus berbeda dengan perlakukan pekerjaan rutin. Bahkan untuk pekerjaan yang dilaksanakan menjelang akhir tahun anggaran harus memperhatikan klausul denda, batas akhir pekerjaan, dan pembayaran, khususnya apabila pekerjaan melewati batas pembayaran KPPN.
Ini semua baru penjelasan untuk tugas pokok pertama lho 😀
Menerbitkan Surat Penunjukan Penyedia Barang/Jasa (SPPBJ)
PPK tidak serta merta menerbitkan SPPBJ setelah pelaksanaan pelelangan. PPK punya hak untuk tidak sependapat atas penetapan pemenang yang telah dilakukan oleh panitia.
Dasar SPPBJ adalah Berita Acara Hasil Pelelangan (BAHP) yang berarti PPK wajib memahami isi dari BAHP.
Memahami isi dari BAHP apalagi berani menolak penetapan panitia berarti PPK wajib memiliki pengetahuan terhadap proses pelelangan/seleksi yang telah dilakukan oleh panitia. Artinya, selain kemampuan manajerial, PPK wajib mengetahui proses pengadaan barang/jasa secara utuh dan lengkap tahap demi tahap serta memahami hal-hal apa saja yang dievaluasi oleh panitia serta kelemahan-kelemahannya.
Inilah sebabnya, PPK wajib memiliki sertifikat keahlian pengadaan barang/jasa. Bukan sekedar selembaran kertas belaka, tetapi PPK wajib mengetahui proses pengadaan barang/jasa secara detail agar dapat menjalankan fungsi check and recheck terhadap kerja panitia dan mampu untuk menolak usulan pemenang dari panitia.
Apabila PPK tidak memiliki pengetahuan dalam bidang pengadaan barang/jasa, maka PPK cenderung hanya menjadi “tukang stempel” terhadap hasil panitia pengadaan barang/jasa.
Menandatangani Kontrak
Kontrak adalah ikatan antara dua atau lebih pihak yang isinya mengikat kepada seluruh pihak yang menandatangani.
Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek voor Indonesie) menyebutkan:
Supaya terjadi persetujuan yang sah, perlu dipenuhi empat syarat;
Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya;
Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
Suatu pokok persoalan tertentu;
Suatu sebab yang tidak terlarang.
PPK harus memperhatikan hal ini, karena apabila salah satu dari 4 hal tersebut tidak terpenuhi, maka penandatanganan kontrak menjadi tidak sah.
Sebelum penandatanganan, PPK harus yakin bahwa yang mewakili penyedia adalah benar-benar direktur atau kuasa direktur yang nama penerima kuasa ada dalam akta atau pejabat yang menurut anggaran dasar perusahaan berhak untuk mengikat perjanjian. Para pihak juga dalam kondisi sah untuk mengikat perjanjian, pokok perjanjiannya jelas dan tidak ada hal-hal yang melanggar hukum, baik perdata maupun pidana, dalam isi perjanjian.
Inilah pentingnya sebelum pelaksanaan penandatanganan kontrak, PPK melaksanakan rapat persiapan terlebih dahulu agar penandatanganan kontrak tidak sekedar seremonial belaka melainkan dipahami dan nantinya dapat dilaksanakan oleh para pihak.
Melaksanakan Kontrak dengan Penyedia Barang/Jasa dan Mengendalikan Pelaksanaan Kontrak.
Kontrak adalah dokumen yang memiliki kekuatan hukum serta mengikat para pihak. Namun, terkadang karena kesibukan secara struktural, PPK hanya menandatangani dan melupakan pelaksanaannya.
Penyedia barang/jasa dibiarkan bekerja seenak mereka atau hanya memasrahkan pengawasan pelaksanaan pekerjaan pada konsultan pengawas.
Mereka lupa, bahwa pelaksanaan pekerjaan adalah tanggung jawab PPK. Apabila terjadi permasalahan, sering dibiarkan begitu saja dan baru kalang kabut apabila pekerjaan telah selesai atau mengalami hambatan.
Ini yang sering terjadi pada pekerjaan konstruksi, khususnya apabila pelaksanaan pekerjaan tersebut dilaksanakan pada akhir tahun anggaran.
Sudah menjadi aturan baku, bahwa tahun anggaran berakhir 31 Desember bagi pekerjaan yang dilaksanakan berdasarkan kontrak tahun tunggal. Tapi baru kalang kabut akhir Desember setelah melihat pekerjaan belum selesai 100% bahkan tidak dapat diselesaikan tepat tanggal 31 Desember. Malah sebagian kasus, baru pusing setelah masuk bulan Januari.
Keterlambatan pekerjaan tidak terjadi begitu saja dan tidak terjadi hanya dalam semalam. Sejak awal, setiap keterlambatan telah dapat dideteksi. Seharusnya, apabila ada gejala-gejala awal keterlambatan, misalnya material yang seharusnya sudah masuk belum tiba, atau curah hujan yang terjadi diluar perkiraan, maka dapat dilakukan tindakan pencegahan dan langkah-langkah penanggulangan.
Apabila setelah dicoba ditanggulangi tetap tidak dapat teratasi, maka klausul kontrak kritis dapat diberlakukan. Lagi-lagi, khusus klausul kontrak kritis sudah harus dipersiapkan pada saat perencanaan atau penyusunan draft kontrak.
Namun, alangkah banyak PPK yang setelah menandatangani kontrak seakan-akan melupakan adanya sebuah pekerjaan yang berada dibawah tanggungjawabnya. Malah ada yang baru turun ke lokasi proyek pembangunan gedung kalau atasannya hendak berkunjung. Sehingga, saat menghadapi masalah menjadi gelagapan dan kebingungan.
PPK wajib memiliki kemampuan untuk membaca time shedule dan berbagai jenis bentuk dan mekanisme kontrol pekerjaan. Bisa berupa kurva S atau bentuk diagram lainnya. Pemahaman terhadap aplikasi project (seperti MS Project) adalah nilai plus.
Melaporkan pelaksanaan/penyelesaian Pengadaan Barang/Jasa dan kemajuan pekerjaan termasuk penyerapan anggaran dan hambatan pelaksanaan pekerjaan kepada PA/KPA setiap triwulan
Melaporkan pelaksanaan pekerjaan ini tidak sekedar membuat laporan Asal Bapak Senang (ABS). PPK juga harus mampu melaporkan kesesuaian antara kontrak yang ditandatangani dengan pelaksanaan pekerjaan.
Selain kemajuan fisik, yang sering ditanyakan oleh PA/KPA adalah kemajuan daya serap anggaran serta kendala yang dihadapi pada saat pelaksanaan.
Yang harus diingat, setiap kendala merupakan tugas yang harus diselesaikan oleh PPK, sehingga setiap laporan terhadap kendala harus dibarengi dengan laporan rencana penyelesaian terhadap kendala tersebut.
Menyerahkan hasil pekerjaan Pengadaan Barang/Jasa kepada PA/KPA dengan Berita Acara Penyerahan
Salah satu temuan yang paling sering terjadi adalah pengadaan barang/jasa fiktif.
Hal ini terjadi karena PPK tidak cermat dalam melihat barang/jasa yang diadakan. Hasil pekerjaan yang diserahkan oleh penyedia barang/jasa diterima bulat-bulat dan tidak melakukan prinsip check and recheck
Karena tidak memahami jenis barang/jasa yang diadakan, PPK biasanya menerima dokumen apapun yang disodorkan oleh penyedia.
Walaupun ada panitia penerima hasil pekerjaan atau ada konsultan pengawas, penanggung jawab pekerjaan tetap berada di tangan PPK, sehingga pemeriksaan atas barang/jasa yang telah diadakan tetap mutlak dilakukan oleh PPK sebelum diserahkan kepada PA/KPA.
Penyerahan hasil pekerjaan tidak sekedar menyerahkan secara fisik, melainkan harus menyerahkan sesuai dengan fungsi dan kemampuan yang telah ditetapkan dalam dokumen pengadaan serta dokumen kontrak. Oleh sebab itu, pada saat pengujian, PPK harus bisa memastikan setiap spesifikasi sesuai dengan yang telah ditetapkan dan alat/barang berfungsi sesuai ketentuan.
Nah, dari tulisan ini telah jelas beberapa tugas pokok dan fungsi PPK dan jelas bahwa tugas PPK tidak sekedar tanda tangan kontrak.
Oleh sebab itu, bagi SKPD yang tidak mengangkat PPK, karena mengikuti Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 21 Tahun 2011, pastikan PA/KPA memahami tugas pokok dan fungsi dari PPK.
Karena, apabila PA/KPA bertindak selaku PPK, maka tugas pokok PPK juga melekat pada mereka.
Tentang Khalid Mustafa baca disini : http://www.khalidmustafa.info
Pilihan Seorang PPK bagi negaranya
February 6, 2012 by heldi
Filed under Berita dan Artikel Pengadaan
Pilihan Seorang PPK bagi negaranya
oleh: Agus Kuncoro
http://www.guskun.com
Saya adalah seorang Pejabat Pembuat Komitmen (PPK ) dari (mungkin) jutaan PPK yang ada di tanah air ini. Sebagai seorang PPK, saya mengikatkan diri menandatangani kontrak perdata mewakili Negara dengan Penyedia Barang/Jasa.Sebagai konsekwensi dari kontrak perdata, maka saya harus tunduk sepenuhnya pada kontrak tersebut jika tidak ingin menghadapi gugatan perdata dari penyedia. Menghindari tindak pidana korupsi tentu saja melekat dalam pelaksanaan tugas sehari-hari karena kontrak tersebut menggunakan sumber dana APBN.
Saya mendapat tugas melaksanakan Pembangunan Gedung Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Jawa Timur I Surabaya yang berlokasi di Jalan Raya Juanda, desa Semambung Kec. Gedangan Sidoarjo. Pagu yang tersedia untuk pembangunan konstruksi sebesar Rp 31M, pelelangan umum telah menghasilkan harga yang sangat efisien yaitu sebesar Rp 24M. Sebagai PPK, mendapatkan penyedia dengan harga penawaran murah tidak lah sepenuhnya menyenangkan.
Pandangan umum mengatakan bahwa penyedia tersebut banting harga dan mengorbankan kualitas. Banting harga, jika pun benar dan membawa kerugian, adalah sepenuhnya resiko penyedia, namun mengorbankan kualitas adalah pertaruhan nasib PPK.Oleh karena itu, saya menggunakan segala kemampuan yang ada agar kualitas hasil pekerjaan tetap terjaga sesuai spesifikasi yang ditetapkan.Konsultan Manajemen Konstruksi membantu saya memberikan pertimbangan teknis dalam menjaga mutu pekerjaan.
Menjelang akhir tahun anggaran, saya menghadapi dilema yang sangat pelik dalam pelaksanaan kontrak.Dilema muncul karena ternyata penyedia tidak dapat menyelesaikan pekerjaan sesuai waktu yang ditentukan dalam kontrak.PPK terjepit antara aturan pelaksanaan kontrak dan aturan pembayaran atas beban APBN.Belum lagi terpukul dengan judgement salah perencanaan atau kurang nya pengawasan pelaksanaan kontrak.Semua pilhan yang ada seolah tidak ada benarnya, bahkan diamnya seorang PPK pun adalah sebuah kesalahan.
Munculnya dilema bagi PPK
Ini adalah gambaran dasar hukum yang harus dipatuhi oleh seorang PPK
Kekuasaan atas Keuangan Negara ada di tangan Presiden. Oleh Presiden kewenangan itu dibagi menjadi 2, yaitu :
– Dilimpahkan kepada Menteri selaku Pengguna Anggaran sebagai Chief Operation Officer (COO).
– Dilimpahkan kepada Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara sebagai Chief Financial Officer (CFO).
Menteri selaku Pengguna Anggaran harus melaksanakan Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Dalam pelaksanaanya, Menteri melimpahkan kewenangannya kepada Kuasa Pengguna Anggaran (Kuasa PA) . Sebagai PPK, saya diangkat oleh KPA dengan tugas diantaranya menandatangani dan melaksanakan Kontrak dengan Penyedia Barang/Jasa(pasal 11 ayat (1) huruf c dan d). Diantara kewenangan yang tersedia, saya dapat memutus kontrak secara sepihak apabila denda keterlambatan pelaksanaan pekerjaan akibat kesalahan Penyedia Barang/jasa sudah melampaui 5% (lima per seratus) dari nilai Kontrak (pasal 93 ayat (1) huruf a).Besarnya denda keterlambatan adalah 1/1000 (satu perseribu) dari Harga Kontrak atau bagian Kontrak untuk setiap hari keterlambatan (pasal 120).
Menteri Keuangan selaku Bendaharawan Umum Negara mendasarkan diri salah satunya kepada Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan.Tugas sebagai BUN dikuasakan kepada Direktur Jenderal Perbendaharaan yang telah menerbitkan Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan nomor PER-73/PB/2011 tentang Langkah-Langkah Menghadapi Akhir Tahun Anggaran 2011. Pasal 13 ayat (3) huruf a Peraturan tersebut menyatakan bahwa dalam hal pelaksanaan pekerjaan tidak dapat diselesaikan 100% (seratus per seratus) sampai dengan berakhirnya masa kontrak, maka Kuasa PA paling lambat 1 (satu) hari kerja setelahnya memberitahukan secara tertulis kepada penyedia bahwa yang bersangkutan telah wanprestasi dengan tembusan Kepala KPPN mitra kerjanya. Dalam bahasa singkat, pada 2 Januari 2012, Kuasa PA atasan saya harus membuat pernyataan wanprestasi.Kuasa PA atasan saya tidak memiliki kewenangan menyatakan wanprestasi, karena Kuasa PA tidak menandatangani dan melaksanakan kontrak.Dalam pendangan yang lebih luas, apakah mungkin peraturan pelaksanaan dari CFO mengatur juga hal-hal yang menyangkut pelaksanaan tugas COO ?
Pilihan saya sebagai PPK
Inilah simulasi pilihan yang menjadi pertimbangan saya
Sebagai PPK saya berandai-andai jika saya memutuskan kontrak secara sepihak:
• Pada tanggal 2 Januari 2012, denda keterlambatan belum mencapai 5%, oleh karena itu saya tidak dapat menggunakan pasal 93 ayat (1) huruf a sebagai dasar pemutusan kontrak secara sepihak. Kontrak dengan penyedia bersifat perdata, maka jika saya memaksanakan diri, saya berpotensi menghadapi gugatan perdata dari Penyedia. Masalahnya adalah : apabila saya memutuskan kontrak untuk memenuhi Perdirjen Perbendaharaan tersebut di atas, apakah saya mendapat perlindungan hukum dalam menghadapi gugaran dari Penyedia ? Saya tidak mendapat jawaban atas pertanyaan tersebut.
• Sebagai PNS saya terikat kewajiban memenuhi output yang dibebankan. Jika pembangunan tidak dapat mencapai 100% dari kontrak, maka itu artinya target yang dibebankan kepada saya tidak tercapai. Saya bisa menerima sanksi disiplin akibat hal tersebut, setidaknya pernyataan tidak puas dari atasan saya. Sanksi disiplin bisa mempengaruhi renumerasi yang saya terima dan kelanjutan karir saya berikutnya.
• Kontrak yang saya tanda tangani adalah hasil pelelangan umum dengan harga yang relatif rendah. Jika terhadap sisa pekerjaan yang tidak selesai dilakukan pelelangan kembali di tahun 2012, harga kontrak tidak dapat diprediksi, namun besar kemungkinan lebih mahal dari harga sekarang.
• Pembangunan Gedung Kantor dilakukan dengan pendanaan bertahap sesuai Kerangka Penganggaran Jangka Menengah. Dalam DIPA 2012 dialokasikan dana yang peruntukannya adalah kelanjutan dari pekerjaan yang dilaksanakan tahun 2011. Jika dana tersebut digunakan untuk membiayai sisa pekerjaan akibat pemutusan kontrak, maka akan terjadi kekurangan dana yang pemenuhannya mengharuskan adanya revisi anggaran atau penganggaran pada tahu 2013.
Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, maka saya sebagai PPK berketetapan “belum melakukan pemutusan kontrak sepihak”. Keputusan saya ini secara langsung akan mempengaruhi Kuasa PA atasan saya, karena Kuasa PA atasan saya tidak dapat memenuhi ketentuan dalam pasal 13 ayat (3) Perdirjen Perbendaharaan tersebut di atas dan sebagai tindak lanjutnya Kepala KPPN Surabaya I melaporkan Kuasa PA atasan saya ke Inspektorat Kementerian Keuangan serta Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) (pasal 13 ayat (3) huruf g).
Ini adalah pilihan sulit dan menyulitkan atasan saya, oleh karenanya saya sudah mempersiapkan diri dengan cara:
– Saya sudah meminta Penyedia untuk memperpanjang jangka waktu Jaminan Pembayaran dan Jaminan Pelaksanaan sampai dengan 50 hari keterlambatan maksimal, yaitu tanggal 18 Februari 2012. Dengan langkah ini maka saya sama sekali tidak menguasai dana dari pembayaran oleh KPPN namun tetap bisa sewaktu-waktu mencairkan jaminan dan mengenakan sanksi apabila Penyedia tidak sanggup menyelesaikan pekerjaan saat denda keterlambatan melampaui 5% dari nilai Kontrak.
– Dengan harapan Penyedia berhasil menyelesaikan pekerjaannya, maka pengembalian Jaminan Pembayaran dan Jaminan Pelaksanaan hanya akan saya lakukan jika Penyedia sudah menyetor Denda Keterlambatan Penyelesaian Proyek Pemerintah (MAP 423753) menggunakan formulir Surat Setoran Bukan Pajak (SSBP).
Adakah Potensi Kerugian Negara?
Karena sumber pendanaan adalah APBN, maka saya harus semaksimal mungkin menghindari potensi adanya kerugian Negara. Kerugian Negara dari sisi pelaksanaan Kontrak tidak akan terjadi jika hasil pekerjaan sesuai dengan spesifikasi yang sudah ditetapkan. Namun potensi kerugian Negara bisa digali apabila menggunakan pendekatan seperti ini:
– Untuk memenuhi Perdirjen Perbendaharaan tersebut di atas, sudah diajukan SPM tanggal 19 Desember 2011 dan dana100% masuk ke rekening penyedia tanggal 27 Desember 2011.
– Pada awal Januari 2012, seharusnya Negara bisa mendapat pengembalian dana sebesar nilai pekerjaan yang belum diselesaikan.
– Karena dana tidak dikembalikan (meskipun dilindungi jaminan), maka Negara kehilangan potensi bunga atas dana tersebut sampai dengan tanggal realisasi penyelesaian pekerjaan.
Sebagai bahan argumentasi untuk menjawab pendekatan tersebut, maka saya akan menguraikan ketentuan umum yang berlaku berkaitan dengan penggunaan jaminan dan pengenaan bunga dalam tugas-tugas sebagai Kepala Seksi Fasilitas KITE IV. Gambaran singkatnya begini:
– Untuk tujuan meningkatkan produksi barang tujuan ekspor, maka terhadap barang impor diberikan pembebasan bea masuk dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan. Sepanjang waktu pembebasan, pungutan bea masuk yang seharusnya sudah dibayar dilindungi dengan Jaminan.
– Apabila tujuan fasilitas, yaitu produksi barang ekspor tidak tercapai, maka bea masuk yang semula dibebaskan harus disetor ke Negara ditambah bunga sebesar 2% sejak tanggal importasi sampai dengan saat tidak dilaksanakannya ekspor.
Dengan menggunakan analogi tersebut, menurut saya kerugian Negara dalam bentuk hilangnya potensi bunga akan terjadi apabila tujuan Negara untuk mendapatkan pekerjaan 100% tidak tercapai dalam jangka waktu yang ditentukan oleh Peraturan Presiden tersebut di atas. Jika pada akhirnya Negara mendapatkan pekerjaan yang dinyatakan dalam Kontrak, maka Negara sama sekali tidak mengalami kerugian bunga sebagaimana halnya Negara tidak memungut bunga terhadap eksportir penerima fasilitas KITE yang berhasil melaksanakan ekspor selambatnya pada bulan ke -12 (dua belas).
Usulan Solusi Sistematis
Langkah saya tersebut di atas adalah pilihan pribadi saya yang masih harus diuji dengan berjalannya waktu. Namun dilema yang saya alami tidak terulang pada PPK yang lain di tahun berikutnya jika Presiden sebagai Pemegang Kekuasaan Keuangan Negara menetapkan jawaban atas pertanyaan : apakah dana yang bersumber dari satu tahun anggaran bisa tetap digunakan pada tahun anggaran berikutnya?
– Jika jawabnya BISA, maka Menteri Keuangan sebagai Bendahara Umum Negara harus mengeluarkan peraturan yang memungkinkan hal tersebut dilaksanakan.
– Jika jawabnya TIDAK, maka Presiden harus memperbaiki Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 dengan menambahkan klausul “keterlambatan pekerjaan tidak boleh melebihi akhir tahun anggaran”.
Semoga bermanfaat !
Tentang GUSKUN
Agus Kuncoro (GusKun), lahir di Bojonegoro pada tanggal 16 Agustus 1971. Ia menempuh pendidikan kedinasan di Program Diploma III Keuangan Spe-sialisasi Bea dan CukaiAngkatan 6, lulus tahun 1993. Pendidikan Strara 1 baru diselesaikan tahun 1999 saat lulus dari Program Studi Administrasi Niaga Universitas Terbuka dan lulus dari Program
Studi Akuntansi, Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro tahun 2000.
Sejak 1 Januari1992 sampai dengan saat ini, menjadi PegawaiNegeriSipil (PNS) pada Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan. Mempunyai pengalaman dipekerjakan pada Badan Pelaksanan BRR-NAD-Nias pada tahun 2005-2008. Selama bertugas di 2 instansi tersebut, beberapa kali menduduki jabatan yang terkait dengan Pelaksanaan APBN, mulai dari Bendaharawan, Pejabat Penguji Tagihan/Penandatangan SPM, Panitia Pengadaan, PPK dan KPA. Saat ini menjabat sebagai Pejabat Pembuat Komitmen pada Kantor Wilayah DJBC Jawa Timur I.
GusKun memiliki Sertifikat Ahli Peng-adaan Tingkat Pertama/Dasar, anggota Ikatan Ahli Pengadaan Indonesia (IAPI) dan memiliki sertifikat sebagai Pelatih/Narasumber Pengadaan Barang/ Jasa Pemerintah. GusKun beberapa kali menjadi pelatih/narasumber Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah di lingkungan Instansi Pusat, Pemerintah Daerah dan Perguruan Tinggi. Buku Pengadaan pertama yang diterbitkan adalah Cara Benar, Mudah dan Jitu Menang Tender Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (2011).
http://www.guskun.com
Dapatkan buku Guskun disini :
Cara Benar, Mudah dan Jitu. Menang Tender Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah (
klik disini untuk pemesanan)